Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Usulan BMAD Benang Impor China Ditolak, Industri Tekstil Terhindar dari PHK

Keputusan pemerintah menolak rekomendasi pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) benang filamen impor dari China menjadi angin segar industri hilir tekstil.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengapresiasi pemerintah untuk tidak memproses lebih lanjut rekomendasi pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) terhadap impor benang filamen sintetis tertentu asal China.

KADI sebelumnya menyelidiki antidumping sejak 2023 atas permohonan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) yang mewakili PT Asia Pacific Fibers Tbk. dan PT Indorama Synthetics Tbk.

Produk yang diselidiki mencakup benang filamen sintetis tertentu yang terdiri atas dua jenis yakni partially oriented yarn (POY) dan drawn textured yarn (DTY). KADI pun menyarankan tarif BMAD bervariasi, dengan batas atas mencapai 42,3%.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan API Anne P. Sutanto pun mengatakan, keputusan pemerintah tidak memproses rekomendasi KADI itu menjadi angin segar bagi industri tekstil. Pelaku usaha dapat menghindari opsi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Anne mengaku menerima surat petisi dari 101 pengusaha tekstil sekitar 3 bulan yang lalu. Perwakilan 101 pengusaha tekstil juga telah dipertemukan dengan APSyFI.

Dirinya merasa pengenaan antidumping terhadap POY dan DTY bukanlah solusi yang tepat untuk industri hulu penghasil jenis benang filamen sintetis tersebut. Sebab, kondisi dalam 2 tahun ini kebutuhan akan POY hampir 10 kali lipat lebih besar dari kapasitas produksi POY dalam negeri.

Oleh karena itu, pengenaan antidumping akan menurunkan daya saing produksi turunan tekstil yang dihasilkan oleh produsen tekstil nasional terutama 101 perusahaan yang mengajukan petisi. Lebih lanjut, efek dari pengenaan antidumping dikhawatirkan akan menambah PHK dan penutupan pabrik tekstil lebih lanjut.

"Kekhawatiran APSyFi mengenai anggotanya yang kalah berdaya saing sebenarnya juga sudah dibahas dalam pertemuan di mana perwakilan 101 pengusaha yang mengajukan petisi bersedia untuk menyerap kapasitas produksi POY dalam negeri dengan praktik-praktik standar berbisnis," tutur Anne melalui keterangan resmi, Jumat (20/6/2025).

Malah, kata Anne, perwakilan 101 pengusaha juga mengusulkan pemerintah melalui Kementerian Perindustrian tetap dapat mengatur harmonisasi kebutuhan impor POY dan DTY berdasarkan kebutuhan dalam negeri dibandingkan kapasitas produksi dalam negeri. 

"Sehingga kekhawatiran mengenai dumping dari negara lain bisa tetap diatasi dengan pengaturan impor oleh pemerintah sesuai kinerja produksi masing-masing pihak," imbuh Anne.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memutuskan tak memproses lebih lanjut rekomendasi KADI terkait BMAD atas impor benang filamen.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan, keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait. 

Menurutnya, pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik masih terbatas, sementara kapasitas produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna dalam negeri. 

"Sebagian besar produsen benang filamen sintetis tertentu memproduksi untuk dipakai sendiri,” ujar Budi Santoso alias Busan melalui keterangan resmi, dikutip Jumat (20/6/2025). 

Pertimbangan lainnya, lanjut Busan, sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan trade remedies, seperti bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023. Selain itu, BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, China, dan Taiwan berdasarkan PMK No. 176 Tahun 2022.

Jika BMAD atas benang filamen sintetis tertentu tetap diberlakukan, maka akan meningkatkan biaya produksi dan menurunkan daya saing sektor hilir. 

"Sektor industri TPT baik hulu maupun hilir sedang menghadapi tekanan akibat dinamika geoekonomi-politik global, pengenaan tarif resiprokal dari Amerika Serikat, dan penutupan beberapa industri," imbuh Busan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper