Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah segera memberlakukan tarif pungutan ekspor (PE) untuk komoditas kelapa bulat. Kebijakan ini dilakukan seiring dengan terjadinya krisis bahan baku kelapa di Indonesia.
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengatakan rencana pemberlakuan pungutan ekspor kelapa bulat masih menunggu beleid dari Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Dia menargetkan PMK yang mengatur PE kelapa bulat itu akan rampung dalam waktu dekat.
“Mudah-mudahan secepatnya ya [pungutan ekspor kelapa bulat terbit], karena nanti PMK-nya dari Kemenkeu, ya,” kata Budi saat ditemui di Puncak Harkonas 2025 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Minggu (18/5/2025).
Lebih lanjut, Budi menuturkan bahwa seluruh pihak telah disepakati oleh kementerian dan lembaga terkait lainnya. Dengan adanya kebijakan tersebut, diharapkan masalah krisis kelapa di dalam negeri bisa teratasi.
“Sebenarnya sudah diputuskan kemarin. Jadi memang kita naikkan termasuk nanti juga kelapa, termasuk kelapa, kan sekarang banyak keluhan kelapa itu diekspor sehingga kebutuhan dalam negeri kurang,” ujarnya.
Baca Juga
Selain itu, Mendag Budi menyatakan pihaknya juga telah berdiskusi dengan para pelaku industri untuk menggunakan instrumen PE. Dengan begitu, dia berharap ekspor kelapa bulat menjadi lebih terkendali karena kebutuhan dalam negeri yang tinggi.
“Harga ini sebenarnya bagus buat petani, tetapi buat pelaku industri karena ekspornya tinggi dan harganya tinggi, akhirnya mereka larinya ke luar semua. Dengan diadakan pungutan ekspor biar seimbang, seimbang antara kebutuhan dalam negeri dan kebutuhan ekspornya,” ujarnya.
Untuk itu, dia menjelaskan bahwa untuk saat ini pemerintah hanya akan menggunakan instrumen tarif PE untuk mengendalikan harga kelapa bulat di dalam negeri, tanpa memberlakukan moratorium.
Harga Melambung
Sebelumnya, Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) Rudy Handiwidjaja meminta agar pemerintah mengenakan tarif PE kelapa di kisaran 100–200% untuk menekan laju ekspor kelapa. Pasalnya, kata dia, selama ini kelapa bulat tidak dikenakan tarif pajak.
“Pajak ekspor mungkin ekspornya 100%—200% supaya bisa menghambat laju ekspor kelapa,” ujar Rudy saat dihubungi Bisnis.
Apalagi, dia mengungkap kelapa bulat tengah dalam krisis dan ditambah dengan ekspor yang melonjak ke China. Rudy menuturkan bahwa China hingga Malaysia menjadi negara yang paling sering mengimpor kelapa dari Indonesia.
Di China, misalnya, Negeri Tirai Bambu itu menjadikan kelapa sebagai gaya hidup, yakni dengan mengganti susu hewani menjadi nabati dari santan kelapa.
Alhasil, lonjakan ekspor ini membuat bahan baku kelapa di dalam negeri bukan hanya terjadi di konsumsi rumah tangga alias pasar tradisional, melainkan juga untuk industri.
Berdasarkan data Hipki, harga kelapa di pasar tradisional kini dibanderol di kisaran Rp25.000–Rp30.000 per butir. Di samping harganya yang melonjak, komoditas ini juga sulit ditemukan lantaran produksi kelapa di industri yang hanya mencapai 40%—50%.
Rudy menjelaskan, kondisi ini terjadi lantaran dipengaruhi dua faktor. Salah satunya imbas cuaca tahun lalu, di mana terjadi El Nino yang menyebabkan produksi kelapa di tingkat petani hanya mencapai 40%.
“Ditambah lagi karena semua negara-negara itu kekurangan kelapa dan sudah tidak boleh ekspor, hanya Indonesia yang boleh ekspor, sehingga negara-negara dari luar itu membeli kelapa dari Indonesia,” ungkapnya.
Ekspor ke China
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor komoditas kelapa di dalam kulit (endocarp) atau HS 08011200 mencapai US$45,6 juta hingga Maret 2025.
Capaian tersebut mengalami peningkatan sebesar 146% (C-to-C) dibandingkan periode Januari-Maret 2024 yang tercatat senilai US$18,2 juta.
“Kelapa yang masih dalam kulit total ekspornya US$45,6 juta sepanjang Januari-Maret 2025,” kata Amalia dalam konferensi pers, Senin (21/4/2025).
Merujuk data BPS yang diterima Bisnis, Senin (21/4/2025), Indonesia paling banyak mengekspor komoditas kelapa ke China, Vietnam, dan Thailand.
Secara terperinci, nilai ekspor kelapa bulat ke Negeri Tirai Bambu mencapai US$43,1 juta hingga Maret 2025, diikuti Vietnam US$2,06 juta, Thailand US$299.426, dan lainnya US$144.806.
Sementara itu, nilai ekspor untuk komoditas kopra atau HS 12030000 mencapai US$5,98 juta sepanjang Januari-Maret 2025. Amalia menyebut, nilai ekspor untuk komoditas ini turun, jika dibandingkan periode Januari-Maret 2024.
“Ekspor kopra US$5,98 juta, dibandingkan Januari-Maret 2024 ada penurunan,” ungkapnya.
Masih merujuk dalam data yang sama, nilai ekspor kopra pada periode ini tercatat turun 25,4% dibanding Januari-Maret 2024 yang mencapai US$8,02 juta.
Kendati begitu, BPS tidak menjabarkan lebih jauh mengenai penyebab merosotnya nilai ekspor untuk komoditas kopra.
Tercatat, Indonesia sepanjang Januari-Maret 2025 paling banyak mengekspor kopra ke Bangladesh dengan nilai mencapai US$5,55 juta. Tahun lalu, ekspor ke negara ini mencapai US$5,56 juta pada Januari-Maret 2024.
Kemudian, Indonesia juga diketahui mengekspor komoditas ini ke India senilai US$328.559, diikuti Pakistan US$60.190, dan lainnya US$42.000.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman sebelumnya mengungkap, melonjaknya permintaan ekspor menjadi biang kerok tingginya harga kelapa bulat di Tanah Air.
“Iya karena demand tinggi,” kata Amran kepada wartawan, Kamis (17/4/2025).
Amran mengatakan, para petani kelapa saat ini tengah menikmati harga ekspor. Untuk itu, dia mengharapkan masyarakat dapat memberikan ruang bagi para petani untuk menikmati harga yang cukup baik tersebut.
“Beri ruang petani kelapa bahagia di saat harga tinggi,” ujarnya.
Seiring meningkatnya permintaan global, Amran menyebut bahwa Indonesia berencana untuk mempercepat masa tanam, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. Mengingat, kondisi ini dapat menambah devisa negara.
“Kesimpulannya, komoditas perkebunan strategis yang demand-nya tinggi fokus rehab, replanting, tanam baru, pemeliharaan yang baik, karena menghasilkan devisa,” jelasnya.