Bisnis.com, JAKARTA – Tekanan terhadap bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) untuk segera memangkas suku bunga acuan kian menguat, seiring dengan rilis data inflasi Juli 2025. Tekanan ini terjadi di tengah lonjakan defisit anggaran meskipun penerimaan tarif meningkat.
Melansir Bloomberg, Kamis (14/8/2025), Menteri Keuangan AS Scott Bessent secara terbuka mendorong The Fed untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada September.
“Yang perlu dipikirkan sekarang adalah apakah kita seharusnya memangkas suku bunga 50 basis poin pada September,” ujarnya kepada Fox Business seperti dikutip Bloomberg.
Menurut Bessent, The Fed bisa saja memangkas pada Juni atau Juli jika sudah mengetahui revisi data pekerjaan yang menunjukkan pelemahan signifikan. Dia juga menilai prediksi ekonom soal dampak tarif terhadap inflasi terbukti keliru.
“Semua orang memperkirakan akan ada inflasi barang, tetapi yang terjadi justru inflasi jasa yang cukup aneh,” katanya.
Laporan inflasi Juli yang dirilis Biro Statistik Ketenagakerjaan menunjukkan Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 0,2% secara bulanan dan 2,7% secara tahunan, sesuai perkiraan pasar.
Baca Juga
Di sisi lain, inflasi inti yang tidak memasukkan komponen pangan dan energi naik 0,3% secara bulanan dan 3,1% secara tahunan, tertinggi sejak Januari.
Data tersebut memperkuat keyakinan investor bahwa The Fed akan memulai siklus pemangkasan suku bunga pada September. Berdasarkan data LSEG, probabilitas pemangkasan sebesar 25 basis poin pada pertemuan bulan depan naik menjadi 98%, dari 89% sehari sebelumnya. Ekspektasi ini juga dipicu pelemahan pasar tenaga kerja Juli dan revisi turun tajam pada data pekerjaan Mei dan Juni.
Co-Head Mortgage and Securitized Investment Morgan Stanley Investment Management Andrew Szczurowski menyebut pasar sebelumnya mengantisipasi inflasi lebih panas, tetapi itu tidak terjadi.
“Jika kita mempertimbangkan mandat ganda The Fed, terlihat bahwa mereka justru lebih meleset pada target ketenagakerjaan ketimbang target inflasi,” ujarnya.
Sementara itu, Trump menggunakan angka inflasi moderat tersebut untuk menegaskan klaim bahwa tarif impor tidak membebani konsumen, sambil menyindir ekonom Goldman Sachs yang dinilainya keliru memprediksi dampaknya.
Penasihat Menteri Keuangan AS, Joseph Lavorgna, mengatakan eksportir banyak menyerap tarif dengan menurunkan harga.
“Setiap bulan, kita menunggu inflasi yang tidak pernah muncul. Selama enam bulan berturut-turut, angka inflasi justru lebih rendah dari perkiraan,” ujarnya.
Namun, ekonom PIMCO Tiffany Wilding memperingatkan CPI inti bisa naik hingga 3,4% pada akhir tahun ketika beban tarif mulai diteruskan ke konsumen. Kepala Ekonom AS PGIM Fixed Income, Tom Porcelli, menambahkan bahwa dampak tarif akan terasa bertahap.
Ada Tarif, Defisit Tetap Bengkak
Sementara itu, adanya tarif Trump yang meningkatkan penerimaan ternyata belum mampu membendung lonjakan defisit anggaran. Data Departemen Keuangan AS yang dirilis Rabu (13/8/2025) menunjukkan, defisit anggaran pada Juli mencapai US$291 miliar, naik hampir 20% atau setara US$47 miliar dibandingkan periode sama tahun lalu.
Lonjakan defisit ini didorong oleh kenaikan belanja pemerintah sebesar 10% menjadi US$630 miliar — rekor tertinggi untuk bulan Juli — meski penerimaan negara juga meningkat 2% menjadi US$338 miliar.
Tahun ini, jumlah hari kerja pada Juli lebih sedikit dibandingkan 2024. Jika disesuaikan, defisit bulanan diperkirakan mencapai US$271 miliar. Penerimaan dari bea masuk melonjak tajam menjadi US$27,7 miliar, jauh di atas US$7,1 miliar setahun sebelumnya, berkat kenaikan tarif impor yang diberlakukan Presiden Donald Trump.
Trump kerap mengklaim tarif impor sebagai sumber miliaran dolar bagi kas negara. Namun, bea masuk pada akhirnya dibayar importir dan sebagian besar biayanya dibebankan ke konsumen melalui kenaikan harga.
Data inflasi terbaru menunjukkan harga barang-barang yang sensitif terhadap tarif, seperti furnitur, alas kaki, dan suku cadang kendaraan, mengalami kenaikan meski ditekan turunnya harga bensin.
Secara kumulatif, defisit anggaran AS pada 10 bulan pertama tahun fiskal 2025 sudah mencapai US$1,629 triliun, naik 7% dari tahun lalu. Penerimaan negara tembus rekor US$4,347 triliun, sementara pengeluaran juga mencatatkan rekor US$5,975 triliun.