Bisnis.com, JAKARTA - Laporan ketenagakerjaan AS Juli yang melemah dan revisi data sebelumnya memicu perbedaan pandangan di internal Federal Reserve (The Fed) soal pemangkasan suku bunga pada pertemuan September mendatang.
Teranyar, Presiden Federal Reserve Bank of Atlanta Raphael Bostic menegaskan dirinya masih melihat satu kali pemangkasan suku bunga sebagai langkah tepat pada 2025, selama pasar tenaga kerja tetap solid.
“Untuk sisa tahun ini, saya masih memproyeksikan satu kali pemangkasan,” ujar Bostic dalam acara di Red Bay, Alabama dikutip dari Bloomberg, Kamis (14/8/2025).
Bostic melanjutkan, proyeksi itu juga bergantung pada asumsi bahwa pasar tenaga kerja tetap kuat. Jika melemah secara signifikan, dia menuturkan, keseimbangan risikonya akan berbeda dan jalur kebijakan yang tepat juga akan berubah.
Secara terpisah, Presiden The Fed Chicago Austan Goolsbee mengatakan pertemuan musim gugur bank sentral akan berjalan secara langsung atau live karena para pembuat kebijakan mencoba menafsirkan data ekonomi yang beragam dan menentukan langkah penyesuaian suku bunga.
Adapun, Goolsbee tidak memberikan sinyal tentang arah kebijakan yang akan dia ambil.
Baca Juga
Sementara itu, Presiden The Fed Kansas City Jeff Schmid pada Selasa (12/8/2025) mengaku tidak terpengaruh oleh laporan tersebut dan ingin mempertahankan kebijakan suku bunga ketat.
Presiden The Fed Richmond Tom Barkin menilai masih belum jelas apakah fokus utama bank sentral seharusnya mengendalikan inflasi atau memperkuat pasar tenaga kerja.
Adapun, Presiden The Fed San Francisco Mary Daly dan Presiden The Fed Minneapolis Neel Kashkari cenderung lebih terbuka terhadap pemangkasan suku bunga.
Dua anggota Dewan Gubernur The Fed, Christopher Waller dan Michelle Bowman, sebelumnya sudah mendukung pemangkasan pada pertemuan 30 Juli, dengan alasan kekhawatiran terhadap pasar tenaga kerja, ketika mayoritas Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) memilih mempertahankan suku bunga.
Sepanjang tahun ini, The Fed mempertahankan biaya pinjaman di level tetap di tengah kekhawatiran bahwa tarif impor yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump dapat memicu inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Data indeks harga konsumen (CPI) yang dirilis Selasa menunjukkan inflasi inti meningkat pada Juli, sementara harga barang yang terdampak tarif impor terus naik, meskipun lebih lambat dibandingkan Juni.