Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia kembali mendesak pemerintah untuk segera mengatur rencana penarikan pungutan ekspor (PE) atau bea keluar kelapa bulat guna meminimalisir krisis bahan baku dalam negeri.
Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan pihaknya sudah beberapa kali mendapatkan keluhan dari industri pengguna kelapa bulat yang kesulitan mencari bahan baku di Tanah Air.
“Saya sempat menyampaikan agar bea keluar dari kelapa bulat ini dinaikkan sehingga bahan baku untuk industri dalam negeri bisa tersedia. Saya tidak tahu sekarang apakah sudah dilakukan apa tidak. Terakhir saya dengar masih sulit untuk mendapatkan bahan baku,” kata Saleh dalam agenda Seminar Nasional Indef, Rabu (2/7/2025).
Dia menyayangkan kondisi hilirisasi industri yang belum dilakukan di sektor ini. Selama ini ekspor hanya berupa bahan baku mentah, alih-alih produk jadi hasil pengolahan kelapa bulat yang dapat memberikan nilai tambah lebih besar.
Alhasil, industri dalam negeri yang kelimpungan mencari bahan baku. Bahkan, sejumlah industri telah melakukan efisiensi produksi lantaran krisis kelapa bulat.
“Salah satu produsen, Kara, contohnya itu adakah produsen dari kelapa dia sampai akhirnya menurunkan produksinya karena tidak ada bahan baku,” tuturnya.
Baca Juga
Ironisnya, penghasil kelapa bulat terbesar saat ini yang berada di wilayah Sumatra, justru tidak bisa memenuhi kebutuhan industri pengguna yang memproduksi di sekitar penghasil, seperti Riau hingga Jambi.
“Ini harus diantisipasi agar kita mendapatkan nilai tambah kalau hilirisasi dalam negeri dibandingkan kita jual mentah,” tuturnya.
Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) mengungkap krisis bahan baku kelapa bulat telah menghantam industri olahan yang berimbas pada penutupan pabrik hingga berujung PHK Massal.
Ketua Bidang Industri Aneka Produk Kelapa HIPKI, Dippos Naloanro mengatakan krisis bahan baku telah terjadi sejak awal semester II/2024. Bahkan, saat ini kondisi utilitas produksi di pabrik terintegrasi hanya sekitar 20%—30%.
“UMKM berbasis kelapa malah sudah banyak yang tutup. Pengrajin arang tempurung 80% sudah kolaps,” ujar Dippos kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Dia menerangkan, normalnya industri olahan membutuhkan setidaknya 2-3 miliar butir kelapa per tahun. Namun, kebutuhan tersebut kini tergerus hingga produktivitas pabrikan melemah karena berkurangnya pemenuhan material.
Pabrikan besar pengolahan kelapa seperti Sambu Grup sudah melakukan pemutusan hubungan kerja dengan lebih dari 1.000 pekerjanya tahun ini. Namun, dia tak bisa membeberkan data secara keseluruhan karena tidak semua perusahaan mau membuka data tersebut.