Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan menilai skema insentif fiskal berupa tax holiday atau pembebasan pajak penghasilan korporasi tidak lagi relevan setelah berlakunya kebijakan global minimum tax sebesar 15%.
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal menjelaskan bahwa kebijakan insentif fiskal harus terus dievaluasi agar sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika ekonomi global.
“Ada insentif yang mungkin sudah kurang pas dengan zamannya, ada yang karena tuntutan zaman harus kita ubah. Contoh paling jelas adalah tax holiday, apakah masih pas pada saat ini?” ujar Yon dalam diskusi di Kantor Celios, Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Menurutnya, ketentuan global minimum tax atau pajak minimum global yang diinisiasi OECD/G20 membuat setiap perusahaan multinasional akan dikenai pajak minimal 15% di mana pun mereka beroperasi.
Konsekuensinya, jika Indonesia tetap memberikan tax holiday dengan tarif 0% maka pajak yang tidak dipungut di Indonesia akan diambil oleh negara induk perusahaan tersebut.
“Kemarin kita sudah keluarkan PMK yang mengatur hal ini. Pajak akan kita ambil di dalam negeri melalui skema UTPR [Undertaxed Payment Rule] sehingga yang selama ini tidak dipajaki akan tetap kita kenakan pajak. Tujuannya menghindari pajak kita diambil negara lain,” jelasnya.
Baca Juga
Meski demikian, Yon menggarisbawahi bahwa Kemenkeu tidak serta-merta menghapus seluruh insentif untuk korporasi-korporasi besar. Meski bukan satu-satunya faktor penentu masuknya investasi, instrumen ini dinilai masih dibutuhkan untuk menarik modal asing sehingga tercipta lapangan kerja baru.
Oleh karena itu, pemerintah mendorong kajian ulang skema insentif pasca-era pajak minimum global. Yon bahkan meminta lembaga riset seperti Center of Economic and Law Studies (Celios) untuk menyusun rekomendasi insentif yang paling tepat bagi industri di Indonesia.
“Kita perlu rumuskan bersama skema yang paling pas, yang sudah ada akan kita evaluasi. Evaluasi itu bagian terpenting,” ujarnya.
Sebelumnya, Peneliti Celios Jaya Darmawan mengkritisi banyaknya belanja perpajakan yang dialokasikan untuk mensubsidi dunia bisnis. Menurutnya, itu hanya memperbesar ketimpangan di Indonesia.
"Pada 2024, belanja perpajakan yang sekitar Rp400-500 triliun lebih itu, itu Rp137,4 triliun di antaranya secara tidak langsung atau kita sebut hidden subsidy untuk dunia bisnis, iklim dan investasi," ungkap Jaya pada kesempatan yang sama.
Dia merincikan, belanja perpajakan untuk subsidi dunia bisnis itu ditujukan kebijakan tax holiday, tax allowance, hingga pengurangan pajak untuk sektor ekstraktif. Celios pun mendorong pemerintah meninjau ulang seluruh skema insentif pajak untuk iklim investasi dan dunia bisnis sehingga anggaran bisa dihemat hingga Rp137,4 triliun.