Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Staf Sri Mulyani Jelaskan Alasan di Balik Rendahnya Rasio Pajak RI

Kemenkeu menolak klaim tax ratio RI terendah di ASEAN, menyatakan perhitungan internasional lebih luas. Tax ratio RI bisa mencapai 13,5% jika dihitung lengkap.
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. / dok. Sekretariat Kabinet-Humas Kemenkeu
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. / dok. Sekretariat Kabinet-Humas Kemenkeu

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan alias Kemenkeu mengungkap alasan rasio pajak atau tax ratio Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara lain.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal mengemukakan bahwa rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia tampak rendah karena selama ini hanya dihitung berdasarkan penerimaan pajak dan kepabeanan.

Padahal, menurutnya, tax ratio menurut perhitungan lembaga internasional seperti Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mencakup komponen yang lebih luas mencakup pajak, kepabeanan, pajak daerah, penerimaan negara bukan pajak dari sumber daya alam (PNBP SDA), hingga pungutan jaminan sosial.

"Jadi empat komponen ini setidaknya harus ada di dalam perhitungan sebuah tax ratio. Makanya kalau kita membandingkan tax ratio kita dengan negara lain, kemudian hanya membandingkan penerimaan pajak dan kepabeanan saja, itu rasanya kurang lengkap," kata Yon dalam diskusi publik di Kantor Celios, Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Dia mengungkapkan bahwa rata-rata pajak daerah berkontribusi 1—1,5% terhadap PDB setiap tahunnya. Sementara PNBP SDA mencapai 1,5—3,5%, tergantung harga komoditas. Untuk pungutan jaminan sosial, Yon mengklaim tidak terlalu signifikan.

Yon pun mencontohkan jika tiga komponen itu juga dihitung bersama dengan penerimaan pajak dan kepabeanan maka tax ratio Indonesia bisa naik cukup besar.

"Kalau hitungan saya sih, kalau tahun lalu misalnya tax ratio kita itu sekitar 10,2%. Kalau kita akumulasikan dengan PNBP SDA sekitar 1,5—2%, berarti kita sudah sekitar 12%. Tambah 1,5% lagi itu dari pajak daerah. Jadi sebenarnya itu tax ratio kita itu kalau mau komparasi itu ya masih sekitar 13—13,5%," ujarnya.

Hanya saja, dia mengakui bahkan tax ratio sebesar 13,5% belum cukup tinggi. Menurutnya, kajian Dana Moneter Internasional (IMF) menetapkan angka 15% sebagai ambang batas bawah tax ratio yang berkelanjutan.

Oleh sebab itu, sambungnya, masih ada ruang sekitar 2% untuk mengejar target tax ratio yang berkelanjutan.  Di samping itu, Yon mengklaim bahwa tax ratio 13,5% Indonesia setara dengan negara-negara berkembang lain. Dia tidak menampik bahwa laporan OECD menunjukkan tax ratio Vietnam  mencapai 18%.

Hanya saja, 5,4% dari 18% itu dikontribusikan dari pungutan jaminan sosial. Oleh sebab itu, jika pungutan jaminan sosial dikeluarkan maka tax ratio Vietnam sekitar 13—14%.

"Jadi maksud saya adalah, kalau kita social security-nya, iuran BPJS kita kan relatif masih kecil. Tapi negara-negara yang berkembang ya memang kisaran tax ratio-nya di bawah 15%, karena masih ada ruang untuk perbaikan. Kalau ada yang melonjang lebih dari situ, kita cek biasanya ada social security contribution-nya yang wajib," jelas Yon.

Rasio Penerimaan Negara Indonesia Terendah?

Sebelumnya, World Bank alias Bank Dunia mengungkapkan rasio penerimaan negara Indonesia merupakan yang terendah di antara negara-negara berkembang Asia Tenggara (Asean) lainnya.

Dalam laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia mencatat rasio penerimaan negara Indonesia 'hanya' sebesar 12,8% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2024.

Sebagai perbandingan, Bank Dunia mencatat rasio penerimaan Indonesia terhadap PDB itu jauh lebih rendah dari negara-negara berkembang lain di Asia Tenggara seperti Kamboja (15,2%), Filipina (16,7%), Malaysia (16,8%), Laos (18,2%), Vietnam (18,4%), Myanmar (20%), Thailand (21,3%), dan Timor Leste (40,8%).

"Pada level 12,7%, penerimaan negara Indonesia terhadap PDB pada 2024 menjadi yang terendah di antara negara pendapatan menengah lainnya," tulis laporan Bank Dunia tersebut, dikutip Senin (28/4/2025).

Bank Dunia memperkirakan penerimaan pajak yang hilang diperkirakan mencapai 6,4% dari PDB. Artinya, jika potensi penerimaan pajak tersebut tidak hilang rasio penerimaan negara Indonesia bisa mencapai 19,1%.

Oleh sebab itu, lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington DC, AS itu menyarankan agar pemerintah Indonesia memaksimalkan potensi penerimaan pajak. Dengan demikian, ruang fiskal pemerintah semakin besar sehingga bisa mendanai berbagai program untuk capai visi Indonesia Emas 2045.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro