Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) buka suara ihwal perkembangan rencana pengenaan tarif pungutan ekspor (PE) kelapa bulat. Kebijakan ini diambil guna menjaga keseimbangan antara kebutuhan dalam negeri dan ekspor imbas kelangkaan kelapa bulat di dalam negeri.
Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag Farid Amir menjelaskan instrumen PE merupakan solusi yang diambil pemerintah untuk menangani isu kelangkaan kelapa di Indonesia.
“Bersamaan dengan isu kelangkaan kelapa di dalam negeri, pemerintah menyepakati untuk menggunakan instrumen PE sebagai solusinya,” kata Farid kepada Bisnis, Rabu (11/6/2025).
Adapun, rencana pengenaan tarif PE kelapa bulat nantinya akan mengikuti tingkatan harga komoditas. Sayangnya, Farid enggan memberikan informasi lebih detail ihwal berapa besaran tarif PE yang dikenakan pemerintah terhadap komoditas ini.
“Untuk besaran untuk saat ini kami belum bisa memberikan informasi, namun nanti sifatnya progresif yaitu besaran PE mengikuti tingkatan harga komoditas,” ujarnya.
Meski demikian, Farid menjelaskan bahwa dalam menentukan besaran tarif PE, pemerintah akan mengacu pada Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan (PP 24/2015).
Baca Juga
“Tentunya kementerian/lembaga pengusul telah mempunyai kajian dan melakukan konsultasi dengan pelaku usaha terkait,” terangnya.
Farid menambahkan, pengambilan keputusan ini dibahas di Komite Pengarah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan yang anggotanya adalah kementerian/lembaga terkait.
Lebih lanjut, Farid menuturkan bahwa pengenaan PE kelapa sejatinya tertuang di dalam amanat PP 24/2015 dan Peraturan Presiden 132 Tahun 2024 (Perpres 132/2024) tentang Pengelolaan Dana Perkebunan.
Ini artinya, komoditas perkebunan dan turunannya diatur dalam Perpres 132/2024, yakni kelapa sawit, kakao, dan kelapa menjadi objek pengenaan PE.
“Telah diatur pada perundangan-undangan dimaksud pembentukan Badan Pengelola dan Perkebunan, di mana dana yang terkumpul akan dikembalikan ke sektor ini kembali dalam bentuk seperti dana untuk pengembangan SDM, pembiayaan R&D, promosi, replanting, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Dia menjelaskan sederet langkah itu dilakukan untuk memaksimalkan produksi di hulu hingga peningkatan ekspor yang bernilai tambah.
Dihubungi terpisah, Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian menuturkan bahwa pemerintah perlu melihat implementasi PE komoditas lain yang efektif sebagai dasar dalam menentukan tarif PE kelapa bulat.
Apalagi, Eliza mengungkap ada perbedaan harga kelapa bulat yang diekspor dengan lokal yang bisa mencapai kisaran 30–40%. Menurutnya, jika pemerintah hanya menetapkan PE sebesar 15–20%, maka masih ada celah bagi para eksportir meraup keuntungan, meski tak sebesar sebelumnya.
“Perlu kajian untuk menetapkan PE yang pas, karena jika [PE] terlalu rendah, maka eksportir akan tetap mengekspor. [Namun] kalau terlalu tinggi, ekspor [kelapa bulat] signifikan turun, dampaknya oversupply kelapa jika tidak diserap industri dan rumah tangga yang mana nanti petani kelapa semakin tertekan,” kata Eliza kepada Bisnis.
Meski begitu, secara jangka pendek, Eliza menilai pengenaan PE bisa meredam harga kelapa bulat domestik yang masih melambung di tingkat konsumen.
“Efektivitasnya terbatas kalau pungutannya terlalu kecil, belum lagi jika negara importir berani beli [kelapa bulat dengan] harga mahal, jadi PE nggak begitu ngaruh karena masih memberikan insentif yang cukup untuk para eksportir,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah juga perlu membuat kebijakan lain dan tak hanya sebatas mengenakan PE, salah satunya melalui peremajaan kelapa agar produksi dalam negeri meningkat. Serta, peningkatan kapasitas (capacity building) kepada petani agar menerapkan praktik agrikultur yang baik, dan penggunaan bibit unggul.