Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat mewanti-wanti agar penetapan tarif pungutan ekspor (PE) kelapa bulat harus diperhitungkan secara hati-hati dan menyeluruh agar petani dan konsumen tidak dirugikan dari kebijakan ini.
Untuk diketahui, pemerintah tengah menggodok tarif PE kelapa bulat untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Kebijakan ini diambil seiring terjadinya krisis kelapa bulat di dalam negeri.
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan pemerintah perlu melihat implementasi PE komoditas lain yang efektif sebagai dasar dalam menentukan tarif PE kelapa bulat.
Terlebih, Eliza mengungkap adanya perbedaan harga kelapa bulat yang diekspor dengan lokal yang bisa mencapai kisaran 30–40%. Adapun, jika pemerintah hanya menetapkan PE sebesar 15–20%, maka masih ada celah bagi para eksportir meraup keuntungan, meski tak sebesar sebelumnya.
“Perlu kajian untuk menetapkan PE yang pas, karena jika [PE] terlalu rendah, maka eksportir akan tetap mengekspor. [Namun] kalau terlalu tinggi, ekspor [kelapa bulat] signifikan turun, dampaknya oversupply kelapa jika tidak diserap industri dan rumah tangga yang mana nanti petani kelapa semakin tertekan,” kata Eliza kepada Bisnis, Rabu (11/6/2025).
Meski demikian, secara jangka pendek, Eliza menilai bahwa pengenaan PE bisa meredam harga kelapa bulat domestik yang masih melambung di tingkat konsumen.
Baca Juga
“Efektivitasnya terbatas kalau pungutannya terlalu kecil, belum lagi jika negara importir berani beli [kelapa bulat dengan] harga mahal, jadi PE nggak begitu ngaruh karena masih memberikan insentif yang cukup untuk para eksportir,” ujarnya.
Untuk itu, Eliza menilai pemerintah juga perlu membuat kebijakan lain alias tak hanya sebatas mengenakan PE, salah satunya melalui peremajaan kelapa agar produksi dalam negeri meningkat. Serta, perlu adanya peningkatan kapasitas (capacity building) kepada petani agar menerapkan praktik agrikultur yang baik, dan penggunaan bibit unggul.
“Sayangnya, industri pengolahan kelapa hanya beroperasi pada 33% kapasitas maksimum akibat kelangkaan bahan baku, jadi memang urgent sekali cari solusi komprehensif,” imbuhnya.
Di sisi lain, Eliza menyoroti fenomena harga kelapa bulat yang masih melambung di tingkat konsumen. Padahal sebenarnya, kata dia, petani kelapa tidak menjual harga tinggi seperti yang diterima konsumen.
Dia menjelaskan bahwa petani kelapa hanya menjual hasil panen kepada tengkulak alias middle man, sehingga yang menentukan harga kelapa di tingkat konsumen adalah tengkulak.
“Tetapi ketika ada kebijakan yang membuat middle man ini kesulitan menjual barangnya, petani yang ditekan dengan harga rendah karena katanya over supply,” imbuhnya.
Menurut Eliza, tata niaga komoditas yang cenderung eksploitatif bagi petani menyebabkan harga di tingkat petani tidak begitu signifikan meningkakan kesejahteraan. Di sisi lain, justru konsumen yang dikenakan harga relatif tinggi karena stok yang terbatas.
Misalnya saja, ungkap Eliza, harga di kebun petani Riau berada di kisaran Rp4.000–Rp4.900 per kilogram, sedangkan harga di tingkat konsumen bisa mencapai Rp13.000–Rp25.000 per kilogram tergantung daerah. Fenomena ini mengindikasikan adanya rantai distribusi yang panjang, sekaligus biaya dan margin di tiap mata rantai perdagangan kelapa yang besar.
Untuk itu, Eliza menilai pemerintah harus menyelesaikan permasalahan ini dari sisi hulu agar petani dan konsumen tidak dirugikan imbas rantai distribusi yang panjang. “Jadi ya dari sisi hulu dan distribusinya harus dibenahi agar hilirisasinya tidak setengah hati,” pungkasnya.