Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RI Krisis Kelapa Bulat, Kemendag Usul Kenakan Pungutan Ekspor hingga Moratorium

Kementerian Perdagangan (Kemendag) segera membahas usulan kebijakan tarif pungutan ekspor dan moratorium ekspor kelapa bulat dalam waktu dekat.
Kelapa bulat yang dijual di Pasar Nalo, Jakarta, Kamis (24/4/2025). —Bisnis/Rika Anggraeni
Kelapa bulat yang dijual di Pasar Nalo, Jakarta, Kamis (24/4/2025). —Bisnis/Rika Anggraeni

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengusulkan kebijakan tarif pungutan ekspor dan moratorium ekspor kelapa bulat seiring dengan terjadinya krisis kelapa bulat di dalam negeri.

Untuk diketahui, kondisi kelapa bulat di dalam negeri tengah dilanda krisis, ditambah dengan lonjakan ekspor ke China dan produksi yang hanya mencapai 40–50%. Alhasil, harga kelapa bulat melambung di pasar tradisional.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan, pihaknya akan mulai membahas kebijakan tarif PE kelapa bulat paling lambat pekan ini.

“Kami minggu ini atau besok rapat, jadi kami usulkan ada PE, pungutan ekspor [kelapa bulat] kita usulkan,” kata Budi dalam acara peluncuran Gerakan Kamis Pakai Lokal di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (8/5/2025).

Budi menyebut, kebijakan ini diharapkan dapat segera diputuskan pada rapat tersebut. “Minggu ini rapat ya, dirapatkan. Mudah-mudahan langsung bisa diputuskan [ada pungutan ekspor kelapa bulat],” imbuhnya.

Selain pungutan ekspor, Budi mengungkap Kemendag juga mengusulkan agar diberlakukannya moratorium sementara untuk ekspor kelapa. Hal ini sebagaimana permintaan asosiasi yang menginginkan kebijakan ini.

Sebelumnya, Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) Rudy Handiwidjaja menilai pemerintah perlu memberikan moratorium ekspor kelapa dengan jangka waktu paling lambat 6 bulan.

Sebab, menurut dia, jika moratorium ekspor dilakukan dengan jangka waktu terlalu lama maka akan berdampak pada harga kelapa di dalam negeri yang turun sehingga bisa merugikan petani dan pedagang.

Sayangnya, Rudy mengaku pengajuan moratorium ekspor kelapa yang bergulir sejak September tahun lalu ini belum mendapatkan respons dari pemerintah.

“Jangankan 6 bulan, kami mengajukan moratorium saja pemerintah ini sampai sekarang belum dengarkan, belum laksanakan. Padahal kami sudah berjuang dari mulai September 2024,” ujar Rudy saat dihubungi Bisnis.

Selain itu, Hipki juga berharap pemerintah perlu mengenakan PE kelapa di kisaran 100–200% untuk menekan laju ekspor kelapa. Sebab, kata dia, selama ini komoditas kelapa bulat tidak dikenakan tarif pajak.

Padahal, kelapa bulat tengah dalam krisis dan ditambah dengan ekspor yang melonjak ke China. Kurangnya bahan baku ini bukan hanya terjadi di konsumsi rumah tangga alias pasar tradisional, melainkan juga untuk industri.

Berdasarkan data Hipki, harga kelapa di pasar tradisional kini dibanderol di kisaran Rp25.000–Rp30.000 per butir. Di samping harganya yang melonjak, komoditas ini juga sulit ditemukan lantaran produksi kelapa di industri yang hanya mencapai 40%—50%.

Rudy menjelaskan, kondisi ini terjadi lantaran dipengaruhi dua faktor. Pertama, imbas cuaca tahun lalu, di mana terjadi El Nino yang menyebabkan produksi kelapa di tingkat petani hanya mencapai 40%.

“Ditambah lagi karena semua negara-negara itu kekurangan kelapa dan sudah tidak boleh ekspor, hanya Indonesia yang boleh ekspor sehingga negara-negara dari luar itu membeli kelapa dari Indonesia,” tandasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper