Bisnis.com, JAKARTA — Pajak Penghasilan atau PPh impor, maupun bea masuk dan bea keluar, merupakan sumber-sumber penerimaan untuk membiayai belanja negara yang pada tahun ini mencapai Rp3.621,3 triliun.
Dalam menghadapi tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana melakukan penyesuaian tarif dan deregulasi pajak serta kepabeanan untuk menurunkan tarif tersebut.
Per akhir Maret 2025, pemerintah telah berhasil mengumpulkan penerimaan negara senilai Rp516,1 triliun. Meski demikian, Kementerian Keuangan belum memerincikan data penerimaan tersebut.
Lantas secara umum, bagaimana kontribusi PPh impor hingga bea masuk terhadap penerimaan negara?
Untuk diketahui, mesin penerimaan negara bukanlah dari PPh impor, bea masuk, dan bea keluar. Pajak dan cukai merupakan tulang punggung penerimaan negara.
Data terakhir yang dapat diakses secara terbuka di situs Kemenkeu adalah APBN per Januari 2025. Kementerian Keuangan belum mempublikasikan Buku APBN KiTa 2024, lalu APBN KiTa edisi Februari 2025 yang menjelaskan kondisi fiskal Januari 2025 telah dihapus setelah sempat muncul di situs Kemenkeu.
Baca Juga
Berdasarkan dokumen yang Bisnis peroleh, tercatat pada Januari 2025 realisasi PPh impor senilai Rp6,09 triliun atau berkontribusi 10,54% terhadap total penerimaan PPh nonmigas yang senilai Rp57,78 triliun.
Sementara terhadap penerimaan pajak secara umum yang senilai Rp88,89 triliun, PPh impor berkontribusi sebesar 6,9%.
Dari sisi sektor usaha, industri pengolahan memang menjadi penyumbang perpajakan terbesar, yakni mencapai Rp23,25 triliun pada Januari 2025. Sementara sektor usaha informasi dan komunikasi berada di posisi kedelapan dengan setoran pajak mencapai Rp4,05 triliun.
Sayangnya, dalam data Kemenkeu tersebut tidak dijelaskan secara perinci baik terkait negara maupun komoditas yang menyetorkan PPh maupun kepabeanan.
Sebagaimana diketahui pula, penyesuaian tarif PPh impor ini akan menyasar produk tertentu, yakni elektronik, seluler, dan laptop. Jika sebelumnya tarif yang dibebankan 2,5%, nantinya akan menjadi 0,5%.
Sementara penyesuaian tarif bea masuk hanya berlaku bagi semua produk AS yang tergolong most favored nation (MFN), yakni besi baja, alat kesehatan, produk pertambangan, dan produk turunan besi baja dari rentang 5%—10%, menjadi 0,5%.
Adapun penyesuaian tarif bea keluar hanya diberlakukan untuk minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Melihat kontribusinya terhadap penerimaan negara, kinerja penerimaan dari Bea Masuk (BM) mencapai Rp3,87 triliun atau mencapai 7,31% dari target. Kinerja tersebut dipengaruhi oleh depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di saat kinerja impor terkontraksi.
Dilihat dari komoditasnya, penerimaan BM terutama berasal impor gas, gula pasir, suku cadang kendaraan bermotor, kosmetik, dan bahan baku plastik. Importasi barang-barang tersebut tersebut mengindikasikan pertumbuhan aktivitas industri di dalam negeri.
Penerimaan Bea Keluar (BK) tercatat Rp2,45 triliun. Peningkatan didominasi BK produk kelapa sawit dan biji kakao.
BK produk kelapa sawit mendominasi dipengaruhi oleh tren harga CPO yang masih tinggi mencapai US$1.060/MT pada Januari 2025.
Sedangkan penerimaan BK biji kakao juga berkontribusi, dipengaruhi oleh kenaikan Harga Patokan Ekspor, pada bulan Januari 2025 mencapai US$10.060 per metrik ton.
Penerimaan Negara Bakal Berkurang
Sebelumnya, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad melihat penyesuaian PPh impor, bea masuk, maupun bea keluar barang-barang tertentu akan mempengaruhi penerimaan.
“Jadi sebetulnya ketika 32% nanti harga jualnya nanti naik, dengan mengurangi PPh perusahaan bisa menurunkan harga. Tapi konsekuensinya ya penerimaan itu berkurang,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (9/4/2025).
Terlebih, penerimaan negara saja saat ini telah terganggu akibat penurunan harga komoditas yang juga terpengaruh oleh kebijakan Trump.
Lebih lanjut Tauhid menyampaikan bahwa utang memang menjadi instrumen untuk menutup kekurangan penerimaan tersebut.
Meski demikian, pemerintah dapat melakukan cara lain dengan menekan belanja sehingga sekalipun utang harus ditambah, tidak akan terlalu banyak.
“Kalau penerimaan berkurang, pemerintah mungkin akan kompensasi subsidinya, dikurangin. Misalnya energi, karena harga asumsinya di APBN itu US$82/barel [minyak mentah Indonesia], mungkin akan dikoreksi,” jelasnya.