Bisnis.com, JAKARTA — Penguasa mengkhawatirkan keberadaan pekerja informal yang mendominasi di Tanah Air. Keberadaan mereka bisa menjadi beban tersendiri bagi pemerintah dalam mengejar pertumbuhan ekonomi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) 2023–2028 Shinta Widjaja Kamdani mengatakan bahwa sektor informal yang mendominasi dan rendahnya produktivitas berpotensi menghambat laju ekonomi Indonesia.
“Ini menjadi perhatian utama, karena jelas sektor informal menjadi beban pemerintah juga. Kami melihat ini suatu hal yang paling penting,” kata Shinta dalam konferensi pers Outlook Perekonomian Apindo 2025, Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Diketahui, laporan BPS menyebut jumlah pekerja informal di Indonesia pada Februari 2024 mencapai 84,13 juta orang atau setara dengan 59,17% dari total penduduk yang bekerja. Jumlah ini meningkat 57,27% dibandingkan dengan 2019.
Dari sisi gender, pekerja informal didominasi oleh laki-laki dengan proporsi sebesar 56,87% dan mayoritas tinggal di pedesaan sebesar 52,49%.¹
Shinta mengatakan pekerja informal menjadi beban lantaran tidak memiliki jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan, sehingga negara harus ikut memikul tanggung jawab ini.
Baca Juga
“Karena sektor informal tidak ada unsur jaminan sosial dan sebagainya, makanya kalau itu makin tinggi, beban pemerintah semakin besar. Ini kan kesejahteraan dari rakyat,” terangnya.
Menurutnya, fokus utama pemerintah dalam kebijakan ketenagakerjaan Indonesia harus diletakkan pada upaya penyediaan lapangan kerja formal yang berkualitas di tengah dominasi sektor informal dalam struktur tenaga kerja.
Sebab, saat ini jumlah sektor informal mencapai 59,17% pada 2024. Angkanya meningkat dari 55,88% pada 2019.
Di samping itu, Shinta juga menyoroti kemampuan investasi untuk menciptakan lapangan kerja yang terus menurun. Dia menyebut, kemampuan investasi Indonesia untuk menciptakan lapangan kerja turun seperempat dalam 10 tahun terakhir.
Pada 2013, investasi Rp1 triliun menghasilkan lebih dari 4.500 lapangan kerja. Sedangkan pada 2024 turun menjadi hanya 1.285 lapangan kerja. Kondisi ini mencerminkan dominasi investasi padat modal tanpa diimbangi penciptaan lapangan kerja yang besar.
“Jadi penyerapan tenaga kerja jauh lebih rendah, ditambah ada digitalisasi dan kita harus melihat jenis pekerjaan, [di mana] ada shifting di masa depan,” ungkapnya.
Sayangnya, Shinta menyebut tenaga kerja Indonesia masih belum siap menghadapi dinamika pekerjaan di masa mendatang. “Karena kita belum sampai ke high skill, kita masih low skill dan ini menjadi perhatian kita,” imbuhnya.
Menurutnya, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja yang semakin kompleks.
Adapun, data BPS (2024) menunjukkan lebih dari 36% tenaga kerja hanya berpendidikan SD, sementara hanya 10% yang berpendidikan tinggi. Di sisi lain, survei Roadmap Perekonomian Apindo mengungkap sebanyak 56,30% tenaga kerja yang diserap dunia usaha tidak memenuhi kualifikasi.