Bisnis.com, JAKARTA — Sinyal pemutusan hubungan kerja atau PHK mencuat di tengah rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Kenaikan tarif PPN ini bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Payaman Simanjuntak memandang kenaikan tarif PPN 12% akan berdampak luas ke perekonomian, termasuk berpotensi memicu badai PHK.
Terlebih, Payaman menjelaskan penerapan tarif PPN sebesar 12% yang berlaku awal 2025 ini utamanya akan dirasakan oleh kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Bahkan, daya beli masyarakat diprediksi akan turun imbas kebijakan ini.
“Permintaan akan barang konsumsi bisa menurun drastis dan dunia usaha menghadapi kesulitan pemasaran. Dampak lebih lanjut perusahaan terpaksa mengurangi produksi dan melakukan PHK,” kata Payaman kepada Bisnis, Minggu (17/11/2024).
Selain itu, Payaman juga tak memungkiri para buruh melakukan unjuk rasa alias demo terhadap kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
“Buruh bisa saja melakukan demo, tetapi demo bukanlah solusi,” imbuhnya.
Baca Juga
Seiring dengan kenaikan tarif PPN 12% pada 2025, menurut Payaman, dunia usaha dan pekerja harus meningkatkan produktivitas agar perusahaan bisa menjual barang atau produk dengan harga yang lebih murah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal tidak akan melakukan penundaan implementasi tarif PPN 12% pada 2025.
Bendahara negara itu menjelaskan, sejatinya ketentuan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1%, yakni dari 11% menjadi 12% sudah tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Adapun, DPR telah menyetujui dan ikut serta dalam pengesahan ketentuan tersebut yang diteken pada 29 Oktober 2021.
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak ibu sekalian sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” ujar Menkeu Sri Mulyani dalam Raker bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).
Kendati demikian, dia menegaskan pihaknya tidak akan memungut PPN secara ‘membabi-buta’. Dalam hal kenaikan PPN, menjadi kebutuhan dalam menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jumlahnya tidak sedikit.
Sebab, pada saat bersamaan APBN harus menjalankan fungsi berbagai fungsi, termasuk shock absorber dalam merespon kondisi gejolak ekonomi global dan krisis finansial.
Lebih lanjut, Kementerian Keuangan juga bakal memberikan penjelasan kepada masyarakat dan memastikan kenaikan PPN menjadi 12% tidak terjadi pada semua barang dan jasa.
“Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarkat artinya walaupun kita buat kebijakan tentang pajak termasuk PPN bukannya membabi buta atau tidak punya afirmasi atau perhatian pada sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, bahkan makanan pokok,” terangnya.