Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Sunarsip

Ekonom Senior The Indonesia Economic Intelligence

Sunarsip adalah ekonom senior The Indonesia Economic Intelligence. Lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) 2000 ini meraih gelar Magister Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2006.

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Fenomena Inflasi Rendah & Deflasi

Rendahnya inflasi selama 2024 ini terutama disebabkan oleh deflasi bulanan secara berturut-turut sejak Mei 2024.
Siluet warga beraktivitas dengan latar gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (2/10/2024). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Siluet warga beraktivitas dengan latar gedung bertingkat di Jakarta, Rabu (2/10/2024). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Awal Oktober ini, BPS merilis data inflasi September 2024 sebesar 1,84% (year-on-year/YoY). Angka inflasi ini terbilang rendah, termasuk bila dibandingkan dengan negara berkembang (emerging market) lainnya.

Rendahnya inflasi tersebut tentu menjadi kabar baik. Dari perspektif keuangan, inflasi rendah berdampak pada kenaikan suku bunga riil (real interest rate). Kenaikan suku bunga riil dapat menjadi “permen manis” bagi masuknya modal (portofolio) asing ke Indonesia.

Modal asing masuk, nilai tukar menguat. Dan terbukti, saat ini, nilai tukar rupiah mampu bertahan di bawah Rp15.500 per dolar Amerika Serikat (AS).

Rendahnya inflasi selama 2024 ini terutama ditopang oleh deflasi bulanan secara berturut-turut sejak Mei 2024. Penurunan inflasi terjadi secara merata terhadap seluruh komponen inflasi.

Deflasi terutama ditopang oleh komponen inflasi dari kelompok barang harga bergejolak (volatile food) dan bahan makanan. Kelompok volatile food dan bahan makanan justru mengalami deflasi selama 6 bulan berturut-turut sejak April 2024.

Tidak kalah penting adalah kontribusi inflasi dari kelompok energi. Sejak September 2023, inflasi energi secara tahunan (year-on-year/YoY) adalah yang terendah dibandingkan komponen lainnya.

Bahkan, inflasi energi telah mengalami deflasi secara tahunan selama 7 bulan berturut-turut dari November 2023 hingga Mei 2024. Pada September 2024, inflasi energi secara tahunan juga mengalami deflasi sebesar -0,29% (YoY).

Apakah inflasi rendah ini merupakan fenomena khusus yang terjadi di Indonesia? Jawabannya, tidak. Inflasi rendah adalah fenomena global. Dunia mengalami hal serupa. Di AS, misalnya, inflasi juga turun cukup signifikan, dari 3,35% (YoY) pada Desember 2023 menjadi 2,53% (YoY) pada Agustus 2024.

Penurunan inflasi inilah yang mendorong bank sentral AS (The Fed) menurunkan suku bunga acuannya cukup signifikan, sebesar 50 basis poin (bps), pada September 2024.

Penurunan inflasi juga dialami oleh negara-negara maju lainnya seperti zona Euro, Inggris, dan Jerman. Hanya Jepang, negara maju yang justru mengalami kenaikan inflasi. Termasuk pula emerging market lainnya seperti Brasil, Meksiko, India, China, dan Afrika Selatan. Inflasi negara-negara di Asean juga turun. Tren penurunan inflasi terjadi hampir merata di berbagai negara setahun terakhir ini.

Kenapa inflasi rendah kini menjadi fenomena global? Jawabannya, karena harga-harga komoditas yang menjadi penyumbang inflasi juga turun, khususnya pada kelompok pangan dan energi.

Tentu kita masih ingat, kenapa inflasi global melonjak pada pertengahan 2022. Lonjakan inflasi antara lain akibat lonjakan harga energi (minyak mentah, gas, dan batu bara) pascameletusnya konflik Rusia-Ukraina. Berdasarkan FAO Food Price Index, lonjakan harga pangan juga terjadi di tahun 2022. Bahkan, pada Maret 2022, indeks harga pangan FAO mencapai level tertingginya sepanjang sejarah, sebesar 160,28.

Saat ini, tekanan terhadap harga-harga pada komoditas utama tersebut (energi dan pangan) relatif jauh berkurang. Sejak 2023 lalu, harga-harga energi dan pangan turun jauh dibanding tahun 2022. Selama 2024, harga-harga komoditas juga masih melanjutkan penurunannya. Sehingga, tidak mengherankan bila inflasi global juga turun setahun terakhir.

Turunnya harga-harga komoditas saat ini tidak terlepas dari melemahnya permintaan (demand) terhadap komoditas di pasar global. Penurunan harga komoditas juga terjadi pada komoditas mineral logam yang menjadi kebutuhan utama industri bersama komoditas energi. Di sisi lain, industri global kini mengalami pelemahan utilisasi kapasitas produksi.

Berdasarkan data dari OECD, utilisasi kapasitas industri di Amerika Serikat misalnya, selama 2024 ini berada di level di bawah 80%, hampir mendekati dengan kondisi selama pandemi 2020—2021 dan turun dibandingkan level selama 2023.

Indikator PMI Manufaktur di negara-negara maju (AS, Eropa, Jepang) juga masih berada di zona kontraksi (di bawah 50). Indikator PMI Manufaktur negara emerging market seperti China dan Indonesia juga tertekan dan berada di zona kontraksi pada September 2024.

Turunnya harga komoditas berdampak pada turunnya biaya produksi. Sehingga, berkontribusi bagi penurunan inflasi dari sisi biaya produksi (cost push inflation).

Pertanyaannya, mengapa turunnya biaya produksi tidak menyebabkan industri meningkatkan produksinya? Yang terjadi, aktivitas produksi industri global justru cenderung turun. Jawabannya, kondisi tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh turunnya permintaan konsumen (consumer demand) secara global.

Di Indonesia, turunnya permintaan dapat dijelaskan dari berbagai indikator. Dari perspektif perbankan, penurunan demand terlihat dari pertumbuhan kredit terutama kredit UMKM.

Sampai dengan Juni 2024, kredit perbankan tumbuh 12,36% (YoY). Sayangnya, kredit UMKM hanya tumbuh 5,68% (YoY). Pertumbuhan kredit terutama ditopang oleh kredit bagi usaha besar (korporasi), tumbuh 15,89% (YoY). Sayangnya, pertumbuhan kredit korporasi tidak mengalir ke sektor ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja seperti industri dan perdagangan. Kredit pada kedua sektor ini tumbuh sebesar 9,94% (YoY) dan 9,87% (YoY).

Rendahnya pertumbuhan sektor ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja kini menjadi fenomena nasional. Konsekuensinya, daya beli turun, permintaan turun dan inflasi pun ikut turun.

Apakah kondisi ini akan berlangsung lama? Jawabannya, tergantung tiga hal. Pertama, apakah situasi pemulihan ekonomi global akan berlangsung cepat. Ini mengingat, banyak produk manufaktur Indonesia yang bergantung pada pasar luar negeri. Kedua, apakah investasi pada sektor ekonomi utama dapat berlangsung cepat. Ketiga, bagaimana respons pemerintah dalam memulihkan daya beli.

Meskipun demikian, jangan pesimis dahulu. Ini mengingat, pelemahan aktivitas investasi yang terjadi menjelang berakhirnya suatu pemerintahan, hampir selalu menjadi fenomena “normal” di Indonesia.

Sikap wait and see selalu terjadi menjelang pemerintahan baru terbentuk. Berdasarkan pengalaman, kegiatan investasi akan kembali pulih setelah pemerintahan baru berjalan, setidaknya selama satu semester. Permintaan diperkirakan akan pulih dan tekanan inflasi karena faktor permintaan pun akan kembali muncul.

Tentunya, kita tidak perlu terlalu panik apabila rendahnya inflasi tersebut akibat turunnya daya beli. Namun, jangan juga terlalu cepat mengklaim bahwa rendahnya inflasi saat ini adalah karena keberhasilan dalam pengendalian. Karena faktanya, rendahnya inflasi adalah merupakan fenomena global yang ditopang faktor yang bersifat global pula.

Kita memiliki modal cukup bagus untuk menyongsong pemerintahan baru. Nilai tukar rupiah dan harga komoditas penyumbang inflasi relatif kondusif. Tinggal bagaimana momentum positif ini dapat dimanfaatkan bagi pemulihan dunia usaha, terutama UMKM, dan daya beli. Agar inflasi kita kembali “normal”.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Sunarsip
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper