Bisnis.com, JAKARTA - Operasi tambang tembaga dan emas milik PT Freeport Indonesia di Grasberg, Papua perlu diperpanjang jika ada wacana perpanjangan kontrak hingga 2041.
Perpanjangan kontrak tersebut perlu dilakukan karena Freeport sudah melaksanakan semua kawajibannya bersedia mengkonversi Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Sementara itu, Freeport telah memenuhi syarat menjadi IUPK, seperti menaikan penerimaan negara, penciutan lahan, penggunaan jasa domestik, divestasi 51% saham, hingga pembangunan pabrik smelter tembaga.
Pernyataan dukungan perpanjangan kontrak Freeport ini tertuang dalam Focus Group Discussion yang dihadiri Pengamat Tambang Pada Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, Direktur Eksekutif Anatomi Pertambangan Indonesia (API), Ryanda Barma dan Prof Faizal Caniago, Dosen Program Doktoral Universitas Borobudur pada 24 Agustus 2024.
Ferdy Hasiman sekaligus penulis buku 'Freeport, Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara' mengatakan, Freeport adalah salah salah perusahaan tambang yang mengoperasikan tambang dari hulu sampai hilir.
“Di hulu Freeport mengoperasikan tambang open-pit di Grasberg dengan kapasitas produksi 160.000 biji [emas, tembaga dan perak] per hari. Selain itu, Freeport juga menambang di daerah operasi yang sangat sulit dan tak mungkin bisa dilakukan perusahaan local, yaitu, tambang underground [bawah tanah]," ujarnya dalam siaran pers.
Baca Juga
Alasannya adalah operasional tambang underground ini sangat sulit dan membutuhkan investasi yang sangat besar. Walhasil, kebutuhan investasi harus dilakukan sedini mungkin.
"Investasinya juga harus jauh-jauh hari. Setelah open-pit selesai, Freeport bertumpu pada underground dan mereka sudah investasi sejak tahun 2002 dan baru berproduksi komersial tahun 2021. Butuh waktu hamper 20 tahun investasi untuk mulai produksi," imbuhnya.
Ferdy mengatakan, selain investasi di underground, Freeport juga sudah membangun pabrik smelter berkapasitas 1,7 juta ton untuk menghasilkan konsentrat tembaga di Manyar, Gresik, Jawa Timur. Dana investasinya juga besar hampir mencapai Rp30 triliun. Atas dasar itu, tambang Freeport itu disebut tambang terintegrasi hulu sampai hilir.
“Kalau tambang lain kan hanya di hulu, punya konsensi tambang, lalu dijual ke pemilik smelter, selain itu juga tambang lain tak sanggup mengoperasikan tambang underground dengan investasi sangat besar. Butuh manajemen seperti Freeport Indonesia untuk mengolah itu dan membutuhkan kepercayaan perbankan untuk memulai investasi. Kepercayaan bank itu butuh manajemen yang bersih," kata Ferdy.
Dengan demikian, sambungnya, jika manajemen Freeport sekarang ingin meminta perpanjangan kontrak lagi sampai tahun 2061 sangat beralasan. Namun, izinnya harus diberikan sekarang, karena menimbang risiko investasi dan kepastian hukum.
Sementara, Prof Faizal Chaniago mengatakan, secara hukum, perpanjangan kontrak Freeport hanya akan dilakukan 2 tahun sebelum masa berakhir kontrak.
Artinya, jika mau memperpanjang kontrak hingga 2061, Freeport harus bernegosiasi dengan pemerintah pada 2039. Namun, dengan mengingat risiko investasi di tambang underground yang besar dan sekarang Freeport sudah membangun pabrik smelter besar di Gresik, Jawa Timur dan sudah memberikan sahamnya ke pemerintah Indonesia sebesar 51%, permintaan perpanjangan kontrak sangat masuk akal.
“Pembangunan smelter kalua saya tidak salah sangat besar dan multiplier effect bagi pembangunan nasional sangat besar. Selain itu, pemerintah melalui BUMN dan pemerintah daerah di Papua sudah menguasai 51 persen saham Freeport. Hanya saja, Freeport harus tetap mengutamakan kesejahteraan rakyat. Perpanjangan kontrak harus sesuai dengan amanat UUD’45, tambang kita harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat," kata Faisal.
Faisal berpesan agar Freeport memberikan perhatian khusus kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
“Memberikan beasiswa sebanyak mungkin kepada Papua agar kelak mereka bisa mendiri mengolah tambang," tandasnya.
Meskipun permintan perpanjangan kontrak oleh Freeport sangat beralasan, Direktur Eksekutif Anatomi Pertambangan Indonesia (API), Ryanda Barma menegaskan, pemerintah Indonesia memegang teguh amanat konstitusi UUD 1945.
"Setiap kewajiban melakukan perpanjangan kontrak, termasuk perpanjangan kontrak Freeport Indonesia wajib mengacu pada konstitusi. Artinya, kesejateraan rakyat nomor satu. Jika itu sudah terpenehi, silakan," ujarnya.