Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gaji Karyawan Cuma Naik Tipis, Ada Tapera Makin Terkikis!

Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menolak iuran Tapera karena hanya akan mengikis gaji karyawan dan buruh.
Petugas melayani nasabah di kantor BP Tapera. Dok ANTARA
Petugas melayani nasabah di kantor BP Tapera. Dok ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA – "Kenaikan gaji sudah tidak seberapa, dipotong pula untuk iuran Tapera". Ungkapan ini sepertinya cukup tepat untuk merepresentasikan alasan penolakan para pekerja terhadap upah yang akan tergerus oleh potongan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Sebagaimana diatur, PP No. 21/2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat mewajibkan potongan gaji bagi para pekerja swasta dengan gaji di atas upah minimum sebesar 3%. Dengan perincian, 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% menjadi beban pemberi kerja alias perusahaan.

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan angka potongan Tapera tersebut tidak proporsional jika dibandingkan dengan tingkat kenaikan upah minimum tahunan.

“Kenaikan upah minimum 3%-4%. Setelah dikurangi 2,5% untuk Tapera tinggal 0,5%-1,5%, kemudian akan dihantam terus menerus oleh inflasi yang kalau menurut pemerintah sekitar 3% tiap tahun, tapi bisa mencapai 4%-an,” kata Timboel kepada Bisnis baru-baru ini.

Efeknya, jelas Timboel, daya beli masyarakat akan menurun sehingga menimbulkan potensi dampak ke tingkat konsumsi agregat yang didukung oleh gaji buruh, serta berkontribusi terhadap 50% pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sisi pemberi kerja, beban Tapera sebesar 0,5% dinilai bakal berdampak terhadap operasional perusahaan. Misalnya, ongkos belanja bahan baku yang dipandang cenderung akan diikuti dengan upaya rasionalisasi, termasuk efisiensi.

Timboel pun menilai kebijakan ini tidak populer baik di kalangan tenaga kerja maupun pengusaha. Dia mengusulkan agar pemerintah dan DPR RI merevisi pasal 7 UU No. 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang mewajibkan kepesertaan pekerja dalam program Tapera menjadi sukarela.

“Usul saya, pemerintah dan DPR harus merevisi UU No. 4/2016 tentang Tapera pasal 7 yang mewajibkan. Mengubah kepesertaan wajib menjadi sukarela,” ujar Timboel.

Alasannya, jelas dia, negara memiliki alternatif yaitu manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek yang sejatinya dapat dijalankan secara simultan dengan program Tapera.

“Alih-alih diserahkan semua ke dalam Tapera, akan lebih baik jika program ini dikerjakan secara simultan dengan program lain berdasarkan segmen. Sehingga upaya pemerintah meningkatkan kepemilikan rumah di Indonesia bisa dikejar dengan langkah yang lebih efisien,” jelasnya.

Ilustrasi perumahan rakyat. JIBI/Bisnis
Ilustrasi perumahan rakyat. JIBI/Bisnis

Pembelaan BP Tapera dan Pemerintah 

Berdasarkan data BP Tapera, masyarakat di sebanyak 12 provinsi di Tanah Air masih sangat sulit untuk membeli pembelian hunian harga terjangkau.

Menurut Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho, angka keterjangkauan residensial di beberapa provinsi yang dengan populasi tinggi di Pulau Jawa dan Bali bahkan sudah di atas 5, alias sangat tidak terjangkau.

Sementara itu, kemampuan pemerintah dari berbagai skema subsidi dan fasilitas pembiayaan menyediakan kurang lebih 250.000 rumah/tahun. Padahal pertumbuhan rumah tangga di Indonesia mencapai 700.000 – 800.000 keluarga/tahun.

“Jadi, kalau mengandalkan pemerintah saja tidak akan bisa dikejar. Mau sampai kapan? Makanya perlu grand design dengan menyertakan masyarakat bersama-sama dengan pemerintah untuk menabung sebagai upaya menyubsidi biaya KPR bagi yang belum punya rumah,” katanya.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri menambahkan pihaknya bakal melakukan sosialisasi masif pelaksanaan program Tapera ke masyarakat.

Langkah ini dilakukan sebagai respons atas penolakan dari kalangan pengusaha dan pekerja baru-baru ini terhadap program tersebut.

“Penolakan wajar kalau terjadi karena kami belum melakukan sosialisasi dengan masif. Kami akan segera sosialisasi, public hearing, untuk mendengar masukan dari stakeholder ketenagakerjaan,” ujarnya.

Terkait dengan mekanisme pungutan bagi pekerja swasta, kata Indah, nantinya akan diatur dalam peraturan tingkat menteri selambat-lambatnya hingga 2027 sesuai dengan amanat PP No. 21/2024.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper