Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Eks Menkeu Chatib Basri Blak-blakan, Ini Alasan Pemerintahan SBY Tolak Tapera

Mantan Menkeu Chatib Basri membeberkan alasan pemerintahan SBY menolak aturan Tapera.
Ekonom Senior sekaligus Mantan Menteri Keuangan (2013-2014) Chatib Basri dalam acara HUT PT Indonesia Infrastructure Finance ke-14 tahun, di Hotel St. Regis, Senin (29/1/2024). JIBI/Annasa Rizki Kamalina
Ekonom Senior sekaligus Mantan Menteri Keuangan (2013-2014) Chatib Basri dalam acara HUT PT Indonesia Infrastructure Finance ke-14 tahun, di Hotel St. Regis, Senin (29/1/2024). JIBI/Annasa Rizki Kamalina

Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyampaikan alasan tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang pernah ditolak pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dia menilai iuran Tapera yang dibayarkan pemberi kerja dan pekerja setiap bulannya itu dinilai sangat kecil untuk mendapatkan sebuah rumah.

“Pada waktu itu, isu yang paling besar buat kita adalah mengenai beban dari yang bayar itu si pekerja dan pemberi kerja, kita menghitung bahwa kontribusi dari si pemberi kerja dan si pekerja itu terlalu kecil untuk dapat rumah,” ujar Chatib saat di siniar atau podcast Malaka Project, dikutip pada Selasa (4/6/2024).

Menurutnya, jika iuran Tapera yang ditetapkan lebih besar maka pemberi kerja dan pekerja akan sangat terbebani akibat pungutan Tapera.

"Dia kan enggak ngomong satu pegawai kalau dia punya puluhan ribu pegawai kan kali sekian loh bebannya, kemudian juga kalau mau dibikin di pekerjannya dipotong jauh lebih besar lebih berat,” ujar Chatib.

Ekonom Universitas Indoneaia tersebut menjelaskan Kemenkeu menolak kebijakan Tapera karena sedang berupaya untuk memikirkan rumah yang didapatkan peserta Tapera harus menunggu usia 58 tahun.

Dia pun mempertanyakan bagaimana caranya memberikan kontribusi sesuatu kepada barang yang tidak bisa dikontrol, khususnya kebutuhan akan kepemilikan rumah.

"jadi misalnya gini yang butuh rumah itu mungkin orang umur 30, 40, 20 (tahun), tapi dia baru dapatnya di umur 58 [tahun] berarti dia selama sampai nunggu 58 tahun ya dia harus beli keluarin uang untuk beli rumah sendiri dong,” ujarnya.

Chatib menulai persoalan tersebut belum selesai sehingga undang-undang kebijakan Tapera pun diputuskan untuk ditolak karena pemerintah kala itu belum menemukan titik terang dan harus dipelajari secara mendalam lagi.

“Jadi karena waktu itu situasinya masih belum clear akhirnya wktu itu dipuutuskna untuk undang-undangnya ditolak jadi itu sampai di paripurna waktu itu kita bilang belum ada kesepakatan kita mesti pelajarin secara lebih detail,” ucapnya..

Chatib menyampaikan manajer investasi memiliki kewenangan dalam mengelola keuangan Tapera.

Dia mengingatkan agar tidak hanya melihat dari sisi suplai, tetapi dilihat juga dari sisi orang yang ingin membangun rumahnya sesuai selera.

“Nah, jangan itu kemudian dianggap bahwa supaya lihatnya hanya dari segi suplai, cukup uang untuk membangun rumah ngatasin backlog, dia membangun rumah untuk rumah yang memang dia mau buat,” ujarnya.

Kebijakan di Negara Lain

Sementara itu, Mantan Menkeu itu memberikan penjelasan mengapa kebijakan mirip Tapera ini berhasil dijalankan di beberapa negara.

Menurutnya, Endowment fund dan compulsory saving yang relatif besar menjadi penyebab kebijakan mirip Tapera ini dapat berjalan di beberapa negara lain.

“Mereka kan endowment fund-nya relatif besar sebetulnya kayak HDB, jadi yang namanya compulsory saving-nya itu relatif besar,” ujarnya.

Berbeda dengan Indonesia, Chatib menilai kontribusi iuran masyarakat untuk Tapera itu relatif kecil.

Dia menyampaikan peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sudah pasti mendapat haknya, sedangkan untuk Tapera masih menjadi pertanyaan.

“Misalnya dengan apa ya dengan BPJS kalau BPJS itu kita bayar kita pasti dapat haknya, kalau rumah itu emang kita pasti dapat rumah itu? itu kan yang jadi kemudian jadi pertanyaankan,” ujarnya.

Chatib turut menilai tax ratio yang ditetapkan pemerintah sebesar 10% itu terlalu rendah sehingga dianggap tidak seimbang dengan apa yang direncanakan pemerintah.

“Saya jujur aja tax ratio tuh kerendahan sementara 10%, sementara banyak hal yang kita mau tanganin jadi mau engga mau sebenarnya salah satu tuh ya itu mesti dinaikin tax ratio,” ujarnya. (Ahmadi Yahya)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Redaksi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper