Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Gas Murah Belum Buat Industri Bergairah, Ada Apa?

Kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) yang menelan anggaran Rp51,04 triliun, belum diikuti dengan perbaikan kinerja sektor industri penerima.
Jaringan pipa gas/Bloomberg
Jaringan pipa gas/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah industri belum sepenuhnya membuat kinerja sektor industri penerima bergairah. Efektivitas pemanfaatan HGBT disarankan untuk dikaji kembali.

Evaluasi diperlukan untuk mengukur dampak atau produktivitas dari kebijakan harga gas khusus ini. Pasalnya, program tersebut turut menggerus potensi penerimaan negara dari sektor energi.

Selama periode 2021-2023, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), potensi penerimaan bagian negara yang hilang dari kebijakan HGBT mencapai Rp45,06 triliun.

Perinciannya, potensi penerimaan bagian negara yang hilang sepanjang 2023 mencapai lebih dari US$1 miliar atau minimal sekitar Rp15,67 triliun (asumsi kurs Rp15.667 per dolar AS). Lalu, pada 2022 mencapai Rp12,93 triliun dan pada 2021 mencapai Rp16,46 triliun.

Di sisi lain, anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk menekan harga gas di level US$6 per MMBtu dari 2021-2023 mencapai Rp51,04 triliun. Total nilai tersebut merupakan anggaran HGBT termasuk untuk listrik. Adapun, harga gas domestik itu lebih rendah dibandingkan US$9,82 per MMBtu harga rata-rata gas di Asia seperti dikutip dari Reuters.

Ada tujuh subsektor yang mendapatkan stimulus gas murah, seperti pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Namun, setelah 4 tahun implementasi HGBT, nyatanya kinerja industri tersebut masih terus terbentur.

Kehadiran HGBT mestinya dapat menekan ongkos produksi dan meningkatkan produktivitas hingga margin keuntungan industri pengguna. Pasalnya, ongkos energi cukup signifikan membebani produksi.

Sejauh mana HGBT menekan beban produksi terlihat dari kinerja salah satu emiten keramik, PT Arwana Citramulia Tbk. (ARNA) yang mencatat penurunan total beban produksi ARNA dari Rp1,55 triliun sepanjang 2023 dari tahun 2022 sebesar Rp1,61 triliun atau turun 4,11% year-on-year (yoy).

Hal ini didorong penurunan beban pabrikasi, termasuk ongkos energi, yang turun 4,82% menjadi Rp969 miliar dari sebelumnya Rp1,08 triliun. Dari sisi bahan baku yang digunakan pun turun 4,13% dari Rp527 miliar pada 2022 menjadi Rp505,32 miliar.

Persoalannya, penurunan beban produksi tersebut sejalan dengan turunnya penjualan sepanjang 2023 menjadi Rp2,44 triliun atau turun 5,38% dari tahun sebelumnya Rp2,58 triliun.

Kondisi tersebut menggerus laba bersih ARNA yang tercatat senilai Rp445 miliar sepanjang 2023 atau turun 22,72% dari laba tahun 2022 senilai Rp576,21 miliar.

Di sisi lain, emiten keramik terafiliasi Hermanto Tanoko PT Cahayaputra Asa Keramik Tbk. (CAKK) mengalami penurunan kinerja. Sepanjang 2023, CAKK membukukan pendapatan Rp208,63 miliar sepanjang 2023 atau turun 16,65% dari tahun sebelumnya Rp250,32 miliar.

CAKK tercatat merugi sebesar Rp34,08 miliar pada 2023 setelah tahun sebelumnya mencatat laba bersih Rp10,55 miliar. Hal ini lantaran beban penjualan yang membengkak hingga 97,76% yoy atau senilai Rp7,98 miliar, ditopang kenaikan ongkos angkut.

Dari sisi produksi, harga pokok produksi CAKK turun 22,5% dari Rp265,7 miliar pada 2022 menjadi Rp205,78 miliar pada 2023. Beban overhead pabrik turun 14,92% dari Rp116,54 miliar menjadi Rp136,98 miliar.

Hal ini menunjukkan beban produksi berhasil diturunkan kendati beban ongkos angkut menjadi sumber melorotnya kinerja perusahaan pada tahun lalu.

Perlu Evaluasi

Kepala Center of Industry, Trade, and Invesment Indef, Andry Satrio Nugroho mengatakan, pemerintah perlu mengkaji kembali sektor-sektor industri prioritas yang memerlukan HGBT dan dapat memberikan nilai tambah lebih secara keekonomian.

"Ada sektor-sektor yang betul-betul tidak bisa di-switching atau mungkin hanya bisa mengandalkan gas, itu proporsinya harus lebih besar untuk diberikan HGBT," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (14/5/2024).

Untuk mengoptimalkan pemanfaatan HGBT, Andry menyebut pemerintah dapat meberlakukan proporsi terhadap pemberian gas industri. Namun, hal ini dapat memicu penurunan porsi dari sektor lain yang sudah lebih dulu memperoleh.

"Artinya ada penurunan yang besar ke sektor tertentu dari sektor lain, ya itu tergantung dari segi pemakaian dari gasnya sendiri," tuturnya.

Untuk memberikan proporsi pasokan gas, artinya perlu ada evaluasi penggunaan HGBT di tujuh subsektor pengguna. Optimalisasi penggunaan gas murah industri dapat terlihat dari tingkat utilisasi kenaikan produksi dalam beberapa tahun terakhir.

"Tapi tentu perlu jangka waktu dari penyesuaiann harga energi itu sendiri. Memang pada akhirnya itu akan menurunkan biaya produksi dari industri itu sendiri dan itu akan berpengaruh ke utilisasi produksi," terangnya.

Nasib Kelanjutan HGBT

Merujuk pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.91/2023 tentang Pengguna HGBT, kebijakan harga gas insentif dari hulu itu akan berakhir pada tahun ini. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memberi sinyal positif ihwal kelanjutan program harga gas bumi tertentu (HGBT) selepas 2024. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper