Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf menyebut bahwa ada perusahaan migas yang tertarik untuk mengembangkan lapangan gas D-Alpha, yang menjadi bagian dari Blok East Natuna, Pulau Natuna, Kepulauan Riau.
Hal itu disampaikan Nanang selepas berakhirnya putaran lelang ladang gas yang sebagian besar berisikan kandungan CO2 tersebut.
Kementerian ESDM melaporkan tidak ada investor yang menyampaikan minat keikutsertaan pada lelang reguler untuk Lapangan D-Alpha yang dimulai pada 25 Juli 2023 sampai dengan 15 Desember 2023.
“Saya dengar ada yang tertarik, tapi belum menyampaikan secara resmi proposalnya,” kata Nanang saat dikonfirmasi, Senin (8/1/2024).
Nanang menuturkan, lembaganya telah aktif untuk mempromosikan sejumlah blok migas baru kepada investor. Dia mengatakan, lembagannya telah menampilkan potensi dan peluang-peluang eksplorasi lanjutan di beberapa blok prospektif, seperti lapangan gas D-Alpha tersebut.
“Baik itu di acara nasional, regional maupun internasional,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian ESDM belum berhasil menjaring operator baru untuk lapangan gas D-Alpha.
Lapangan yang telah dilelang reguler pada IPA Convention & Exhibition ke-47 di ICE BSD Tangerang, Selasa (25/7/2023), itu belakangan sepi peminat sampai putaran lelang ditutup pada 15 Desember 2023.
“Karena tidak terdapat peserta lelang, statusnya saat ini menjadi WK [wilayah kerja] available sehingga terbuka apabila terdapat perusahaan yang berminat untuk mengusulkan pengelolaan,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad saat dikonfirmasi, Senin (8/1/2024).
Noor mensinyalir, minimnya peserta lelang untuk Lapangan D-Alpha disebabkan karena persoalaan keekonomian hingga kandungan karbon yang tinggi pada blok tersebut.
“Tapi mungkin karena pertimbangan korporasi terkait keekonomian karena kandungan karbon yang tinggi atau karena kurang data dalam pengambilan keputusan,” kata dia.
Seperti diketahui, hampir 5 dekade atau sejak ditemukan pada 1973, nasib Blok East Natuna diombang-ambing ketidakjelasan. Lapangan gas raksasa tersebut masih juga belum digarap.
Padahal, cadangan gas di East Natuna merupakan yang terbesar di Indonesia, jumlahnya mencapai 2,5 kali lipat Blok Masela. Namun, kandungan CO2 yang lebih dari 70%, menjadikan blok ini tidak mudah dalam pengelolaannya.
Hitung-hitungan Kementerian ESDM, Blok East Natuna memiliki potensi gas mencapai 222 triliun kaki kubik (Tcf). Namun, dengan kandungan CO2 yang lebih dari 70%, gas yang bisa dieksploitasi dari blok tersebut kemungkinan hanya sekitar 46 Tcf.
Awalnya, ExxonMobil tertarik menggarapnya dan mendapat hak kelola pada 1980. Akan tetapi, pemerintah menghentikan kontrak pada 2007 karena tak ada perkembangan.
Setahun kemudian, Blok East Natuna diserahkan ke Pertamina. ExxonMobil ikut lagi pada 2010 bersama Total dan Petronas. Posisi Petronas kemudian digantikan oleh PTT Exploration and Production (PTT EP), perusahaan asal Thailand.
Sayangnya, konsorsium itu bubar di tengah jalan. ExxonMobil memutuskan untuk hengkang pada 2017. Alasannya, perusahaan asal Amerika Serikat itu menilai blok itu tidak layak investasi.
Mengikuti jejak ExxonMobil, PTT EP juga memutuskan untuk tidak melanjutkan konsorsium bersama Pertamina saat itu.