Usai sidang mediasi di PN Jakarta Pusat pada Senin (6/11/2023), Pontjo sempat menyinggung utang budi yang perlu dibayar pemerintah karena pihaknya telah mengelola Hotel Sultan selama puluhan tahun.
Dalam pengakuannya, Pontjo Sutowo mengaku bingung karena dituding melakukan perbuatan melawan negara setelah puluhan tahun mengelola Hotel Sultan yang merupakan amanat negara.
"Kalau kita lihat hotel-hotel di Indonesia mana sih yang tahan 50 tahun? Semua sudah tidak jelas. Hotel-hotel pemerintah seperti Borobudur bukan lagi punya pemerintah, HI nggak jelas statusnya. Ini [Hotel Sultan] produk yang mestinya dihargai dong," kata Pontjo.
Seiring dengan hal itu, Pontjo juga mengeklaim bahwa hingga saat ini PT Indobuildco masih berhak atas lahan HPL No.26 dan 27/Gelora hingga 2053 mendatang.
"HPL itu menurut saya diterjemahkan salah [oleh PPKGBK], karena HPL itu bukan bagian hak milik tanah, HPL itu adalah hak publik hak menguasai, negara itu menguasai tapi bukan memiliki," ujarnya.
Klaim PPKGBK
Sementara itu, Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) melalui badan layanan umum (BLU) Pusat Pengelola Gelora Bung Karno (PPKGBK) menyebut HGB No.26 dan 27/Gelora milik PT Indobuildco telah habis masa berlakunya pada Maret dan April 2023.
Baca Juga
Dengan demikian, mengacu pada HPL nomor 1 tahun 1989 hak kelolaan atas lahan Blok 15 di kawasan GBK menjadi kewenangan PPKGBK.
Namun demikian, Pontjo Sutowo menolak keabsahan hal itu. Pasalnya, Pontjo menyebut HGB 26 dan 27/Gelora milik PT Indobuildco telah keluar jauh lebih dahulu tepatnya pada 1973.
Sebelumnya, Direktur Utama PPKGBK Rakhmadi Afif Kusum menjelaskan bahwa meskipun Pontjo Sutowo telah menggenggam HGB lebih dulu, hal itu tidak serta merta menguatkan posisi Pontjo Sutowo sebagai pemilik sah atas tanah yang berada di Blok 15 kawasan GBK.
"Kok bisa HGB-nya muncul pertama baru HPL? saya ada satu poin perlu kita semua ingat dan kita tidak boleh lupakan. Bahwa di tanah GBK seluas 279 hektare sudah dibebaskan oleh negara. Itu yang menjadi dasar fakta hukum pemenangan negara di sengketa [peninjauan kembali] PK 1 sampai PK 4," jelasnya.
Sementara itu, Tim Kuasa Hukum PPKGBK, Kharis Sucipto, menjelaskan, sebelum Pontjo Sutowo mendapat izin atas lahan HGB 26/27 Gelora, kawasan GBK termasuk lahan Blok 15 telah dibebaskan terlebih dahulu oleh negara untuk kepentingan penyelenggaraan Asian Games ke-6 di Jakarta tahun 1962.
Kharis menjelaskan, dasar hukum atas HPL No.1/1989 tak terlepas dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa pada saat tanah diganti rugi oleh negara, maka penguasannya ada pada negara.
Mengacu pada aturan tersebut, Kharis menambahkan, secara yuridis tanah blok 15 berada di bawah kekuasaan negara dan bukan tanah bebas. Kharis juga menekankan bahwa, negara tidak pernah melepaskan hak atas tanah lahan HGB 26 dan 27 Gelora kepada pihak mana pun.
"Ada satu dasar hukum PP nomor 8/1953 yang mengatur bahwa pada saat diganti rugi oleh negara, maka penguasannya ada pada negara, itulah yang konversi diksinya menjadi pengelolaan. Jadi, bukan HGB muncul duluan, tapi administrasi HPL-nya yang memang muncul belakangan, hanya secara administrasi," pungkasnya.