Bisnis.com, JAKARTA - Penyaluran bahan bakar minyak atau BBM subsidi untuk nelayan kerap kali tak tepat sasaran. Hal ini menjadi sebuah masalah klasik di Indonesia.
Subsidi BBM seharusnya dinikmati oleh para nelayan yang membutuhkan, bukan pemain-pemain besar. Namun, pada kenyataannya masih banyak oknum-oknum berduit yang menikmati BBM subsidi.
Temuan penyalahgunaan BBM subsidi kembali merebak dalam Puncak Hakordia Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2023. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan, tindakan korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, tapi juga masyarakat Indonesia.
Salah satunya, yakni menikmati BBM subsidi yang menjadi hak para nelayan yang lebih membutuhkan. Trenggono menyebut, banyak nelayan tajir yang memiliki puluhan kapal, tapi menggunakan BBM subsidi.
“Rumahnya di Pondok Indah, tapi punya 80 kapal di Ambon, punya 70 kapal di Biak. Lalu pakai BBM yang disubsidi pemerintah. Padahal itu haknya nelayan lokal,” ungkap Trenggono.
Untuk bisa mendapatkan BBM subsidi, oknum-oknum ini mengakali aturan yang ada. Ukuran kapal diturunkan agar mendapat izin pemerintah daerah dan mendapat BBM subsidi.
Baca Juga
Merujuk Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.58/2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap, surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) untuk kapal perikanan dengan bobot di atas 30 gross tonnage (GT) diterbitkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Untuk kapal pengangkut ikan dengan bobot kapal dibawah 30 GT, perizinan diterbitkan oleh pemerintah daerah, sedangkan tanda daftar kapal perikanan (TDKP) diterbitkan untuk nelayan kecil yang menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“... baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berbobot maksimal 10 GT,” bunyi beleid tersebut.
Sementara itu, dalam Peraturan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi No.2/2023 tentang Penerbitan Surat Rekomendasi untuk Pembelian Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan, disebutkan bahwa subsidi jenis BBM tertentu ditujukan untuk sektor usaha mikro, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi, atau pelayanan umum.
Dalam Pasal 3 ayat 3 beleid ini, subsidi ditujukan kepada nelayan yang menggunakan kapal ikan Indonesia dengan ukuran sampai dengan maksimum 30 GT yang terdaftar di KKP atau pemerintah daerah yang membidangi perikanan, serta pembudidaya ikan skala kecil.
Adapun, subsidi jenis BBM tertentu khusus diberikan untuk solar dan minyak tanah.
Ternyata, masalah ini merupakan lagu lama di lingkungan KKP. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti menyebut, pengusaha nakal ini juga ‘main’ dengan oknum aparat agar dapat menurunkan ukuran kapal. Dengan begitu, pengusaha-pengusaha ini dapat menikmati BBM subsidi.
Kondisi inilah yang menjadi pertimbangan pendiri Susi Air itu untuk menghapus 1,2 juta kiloliter solar subsidi, kala menjabat sebagai Menteri.
Menurut Susi, kebijakan ini seharusnya dihapus lantaran menjadi mainan oknum dan pengusaha nakal. Selain itu, dia meminta Trenggono dan jajarannya untuk memeriksa dan menangkap oknum-oknum ini.
“Periksa dan tangkap. Nelayan lain yang membutuhkan subsidi banyak yang tidak dapat,” ujar Susi.
Sulitnya nelayan untuk memperoleh BBM subsidi dibenarkan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Ketua Harian DPP KNTI, Dani Setiawan, mengungkapkan, akses BBM subsidi bagi nelayan kecil masih menjadi persoalan hingga saat ini.
“Terutama terkait kesulitan pengurusan surat rekomendasi dan masih minimnya infrastruktur distribusi [seperti] stasiun pengisian bahan bakar umum nelayan (SPBUN),” jelas Dani kepada Bisnis, Rabu (13/12/2023).
Dia berharap, pemerintah dapat memperbaiki manajemen distribusi SPBUN. Selain itu, pihaknya berharap pemerintah dapat memperbanyak SPBUN utamanya di dekat kampung-kampung nelayan. Dengan begitu, para nelayan dapat dengan mudah mengakses BBM.
Kerugian Negara
Menurut data Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KKP), hasil pendataan ukuran kapal di awal 2018 ditemukan bahwa 814 atau 97% dari 840 kapal cantrang yang telah didata, ukurannya tidak sesuai sebenarnya (marked down) dengan total selisih 36.107 GT.
Dengan temuan tersebut, potensi kerugian negara akibat pengecilan ukuran kapal sebenarnya tercatat total senilai Rp10,44 triliun pada 2015 dan Rp13,17 triliun pada 2016.
Khusus dari penyalahgunaan subsidi BBM akibat penurunan ukuran kapal, potensi kerugian negara tercatat sebesar Rp280,09 miliar pada 2015 dan Rp351,04 miliar pada 2016.
Masalah yang terus berulang ini, menurut Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta, Suhana, terjadi akibat penegakan hukum yang kembali melemah pada periode kedua Presiden Jokowi.
“Oleh sebab itu diperlukan tindakan tegas dari aparat, Pak Menteri perlu kembali memperkuat Satgas 115 yang dulu telah tegas dalam menindak IUU Fishing,” ujar Suhana.
Meski belum memiliki perhitungan soal potensi kerugian yang disebabkan oleh masalah klasik ini, Suhana menduga kerugiannya cukup besar.
Jika pemerintah pada akhirnya pemerintah menghapus BBM subsidi, sesuai usulan Eks Menteri Susi, Suhana menyebut Indonesia dapat menghindari tekanan pasar internasional yang kerap menekan negara-negara produsen perikanan untuk tidak memberikan subsidi pada sektor produksi perikanan tangkap, seperti BBM subsidi.
Di sisi lain, hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dinilai tidak cukup membantu untuk mengatasi masalah ini.
Sebelumnya, Trenggono melihat hadirnya kebijakan Penangkapan Ikan Terukur ini dapat mengatasi masalah tersebut.
Suhana khawatir, adanya regulasi ini membuka peluang munculnya calo-calo perizinan. Pendekatan yang dipakai dalam kebijakan tersebut merupakan pendekatan Individual Transfer Quota (ITQ).
Pendekatan ini dikhawatirkan rawan penyelewengan ketika diterapkan lantaran tidak pernah dikenal dan diimplementasikan di Indonesia.
“Misalnya akan memicu munculnya calo kuota,” pungkasnya.