Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apindo: Natal dan Pemilu Tak Signifikan Kerek Produk Manufaktur

Apindo memprediksi periode Natal dan Pemilu tak banyak meningkatkan permintaan produk manufaktur.
Ketua Umum Asosasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani. Bisnis/Nurul Hidayat
Ketua Umum Asosasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pelaku usaha melihat masih ada pertumbuhan konsumsi produk manufaktur pada periode Natal dan Tahun Baru (Nataru) dan Pemilihan Umum (Pemilu).

Ketua Umum Asosasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebut, meski ada pertumbuhan konsumsi tetapi kenaikannya diperkirakan tak terlalu signifikan.

“Ini juga terlihat dalam parameter retail sales yang hanya naik sedikit, kurang dari 0,5% yoy dibandingkan bulan lalu. Kami rasa hingga akhir tahun pertumbuhan konsumsi akan terus terjadi tetapi dalam skala pertumbuhan yang moderat saja,” kata Shinta, Jumat (1/12/2023).

Senada, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma G. Wirawasta melihat adanya kenikan permintaan pada periode ini, tapi diisi oleh stok yang sudah menumpuk, utamanya stok impor.

“Jadi tidak signifikan mendorong pertumbuhan industri,” ujarnya.

Tanggapan berbeda datang dari Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja. Menurutnya, permintaan selama periode Nataru dan Pemilu dinilai sangat kecil.

Dia mencontohkan pembuatan kaos untuk peserta Pemilu. Jika mendapat orderan baju partai 50 juta potong dan per kilogramnya mendapatkan 5 kilogram bahan, maka dibutuhkan sekitar 333.333 kilogram bahan. Sedangkan, lanjut dia, produksi polyester Indonesia 4.000 ton per harinya sehingga kebutuhannya hanya sekitar 333 ton.

“Jadi efek pembuatan kaos untuk peserta Pemilu tak berdampak signifikan,” ungkapnya. 

Di sisi lain, ada sejumlah hambatan yang dialami sektor manufaktur saat ini. Shinta menuturkan, pihaknya masih melihat banyak isu daya saing suplai chain pendukung produksi di dalam negeri sehingga reformasi-reformasi struktural agar daya saing faktor-faktor beban usaha universal seperti biaya logistik, suku bunga, energi, gas, dan lainnya yg hingga saat ini masih jauh tergolong paling mahal di antara Asean-5.

Selain itu, suplai chain manufaktur Indonesia memiliki ketergantungan impor yang besar lantaran adanya mismatch domestik suplai chain sehingga diversifikasi supply bahan baku di pasar domestik sangat terbatas dan tidak bersaing.

“Ini juga belum menyinggung parameter ICOR yang terus meningkat dari tahun ke tahun yang menunjukkan bahwa sebetulnya produksi manufaktur di Indonesia semakin tidak efisien,” jelasnya.

Shinta menilai, jika hal-hal ini tidak dibenahi dan ditransformasi daya saingnya, maka sektor manufaktur Indonesia akan sulit bersaing di masa mendatang, khususnya di pasar global dan GVCs. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Ni Luh Anggela
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper