Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Furnitur Lesu Meski Stimulus Moncer, Pengusaha Ungkap Sebabnya

Industri furnitur Indonesia lesu meski insentif pajak meningkat. Himki menyebut insentif salah sasaran.
Pekerja menyelesaikan pembuatan produk furnitur di Workshop Seken Living, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (30/6/2025)./Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Pekerja menyelesaikan pembuatan produk furnitur di Workshop Seken Living, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (30/6/2025)./Bisnis-Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) mengungkap alasan insentif perpajakan untuk industri pengolahan, yang juga menyasar sektor furnitur, tak kunjung mendongkrak kinerja pertumbuhan. 

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), laju pertumbuhan industri furnitur terhadap produk domestik bruto (PDB) kontraksi di angka -0,05% (year-on-year/yoy) pada kuartal II/2025 atau turun dari kuartal sebelumnya 9,86% yoy.

Padahal, pemerintah telah mengguyur berbagai insentif untuk industri pengolahan yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2021, belanja perpajakan untuk manufaktur mencapai Rp72,3 triliun meningkat jadi Rp82,2 triliun pada 2022. 

Pada tahun berikutnya, insentif pajak yang digulirkan juga naik ke angka Rp88,8 triliun lalu Rp98,9 triliun pada 2024. Dalam RAPBN 2026, disebutkan outlook belanja pajak tahun ini mencapai Rp137,2 triliun dan naik menjadi Rp141,7 triliun pada 2026. 

Adapun, angka belanja perpajakan (tax expenditure) untuk sektor industri pengolahan pada RAPBN 2026 dipatok Rp141,7 triliun, tertinggi di antara sektor lain. Total belanja perpajakan 2026 dirancang Rp563,6 triliun. 

Ketua Himki Abdul Sobur mengatakan, meski angka belanja insentif fiskal untuk sektor manufaktur meningkat, masih terdapat kebijakan yang perlu dipertajam karena tidak tepat sasaran atau mismatch dan bias terhadap sektor tertentu. 

"Porsi insentif relatif lebih dinikmati sektor padat-modal, misalnya penerima tax holiday industri pionir, sementara sektor padat-karya berorientasi ekspor furnitur menghadapi margin tipis dan volatilitas permintaan," kata Sobur kepada Bisnis, Rabu (20/8/2025). 

Tak hanya itu, guyuran insentif perpajakan umumnya justru menekan arus kas terutama eksportir lantaran restitusi PPN yang tinggi dan berulang. Bahkan, proses klaim fasilitas tersebut juga tak selalu cepat untuk pelaku industri manufaktur skala kecil dan menengah (IKM). 

Di sisi lain, stimulus fiskal yang diberikan belakangan ini tergerus lantaran permintaan pasar global dan hambatan dari mitra dagang. Alhasil, tantangan biaya logistik dan energi meningkat dan insentif tak terasa signifikan bagi industri. 

"Insentif juga tidak otomatis jadi investasi bersih, sebagian fasilitas (allowance/holiday) efektif menarik proyek besar tertentu. Namun, additionality, investasi dan ekspor baru yang benar-benar tercipta, belum merata lintas sub-sektor dan wilayah," jelasnya. 

Untuk itu, pihaknya menegaskan penerima insentif bagi pelaku industri yang lebih presisi. Dalam hal ini, dia mendorong sejumlah insentif yang perlu menjadi prioritas tahun depan seiring dengan kenaikan belanja perpajakan pemerintah untuk sektor industri pengolahan. 

Pertama, restitusi PPN dikerjakan dengan kilat untuk eksportir padat karya sehingga likuiditas pabrik terjaga. Kedua, PPh 21 DTP sangat terarah dan bersyarat untuk sektor sektor padat karya sehingga dapat mendorong retensi tenaga kerja dan upskilling. 

"Skema ini terbukti dipakai saat pandemi, bisa dibuat lebih tepat sasaran," terangnya. 

Ketiga, super-deduction untuk research and development (R&D) yang diperluas ke proses yang lebih teknik dan dukungan proses sertifikasi due diligence seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghadapi aturan EUDR di Eropa. 

Keempat, percepatan depresiasi dan amortisasi untuk modernisasi mesin atau otomasi ringan di IKM, serta pembebasan bea masuk atau PPN impor mesin hijau dan spare parts kritikal.

"Kelima, fasilitas PPN tidak dipungut/dibebaskan  untuk transaksi antar-fasilitas (KITE/TPB) dan bahan baku ekspor agar friction cost rantai pasok turun," tuturnya. 

Keenam, insentif energi proses seperti tarif off-peak industri dan tarif untuk energi, serta efficiency tax credit guna menurunkan biaya produksi. 

Ketujuh, pemberlakuan skema investment allowance berbasis kinerja dengan tambahan pengurangan penghasilan kena pajak berdasarkan output target ekspor, capaian TKDN, dan produktivitas. 

"Kuncinya bukan hanya lebih besar insentif, tetapi lebih tajam, sederhana, dan likuid, menyasar working capital dan capex [capital expenditure] pelaku padat-karya dan ekspor, mempercepat restitusi, dan mengaitkan fasilitas dengan output konkret," pungkasnya. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro