Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengungkapkan bahwa naiknya anggaran subsidi energi pada 2024 belum dengan pertimbangan rencana pengalihan Pertalite menjadi Pertamax Green.
Mengacu pada postur sementara APBN 2024, disepakati alokasi subsidi energi senilai Rp189,1 triliun, lebih tinggi dari usulan RAPBN 2024 sejumlah Rp185,87 triliun.
“Yang sudah dibahas dalam APBN 2024, itu belum mempertimbangkan Pertalite ke Pertamax,” ujarnya dalam Mini Talkshow DetikFinance: Bedah RAPBN 2024 di Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Alokasi subsidi energi tersebut terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG Tabung 3 Kg sebesar Rp113,27 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp75.831,2 miliar.
Volume LPG disepakati sebanyak 8,03 juta MT, dan Volume BBM disepakati sebesar 19,58 juta KL. Adapun subsidi tetap minyak solar ditetapkan Rp1.000/liter.
Sementara itu, untuk besaran kompensasi BBM dan listrik juga lebih tinggi dari usulan RAPBN yang sebelumnya Rp136 triliun menjadi Rp146 triliun.
Baca Juga
Adapun, Wahyu menekankan bahwa pembayaran subsidi maupun kompensasi energi ini sangat bergantung pada Harga Minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP), kurs rupiah, serta realisasi volume yang tersalurkan.
Kuota Subsidi dan Kompensasi Energi 2023 Aman
Untuk tahun ini, Wahyu menyampaikan bahwa kuota energi baik Solar, Pertalite, maupun LPG 3 kg masih dalam batas aman.
“Kalau kuotanya masih dalam batas aman, baik kuota untuk Solar, maupun Pertalite atau LPG 3 kg. Volume masih dalam batas aman, volatilitasnya ada di ICP dan kurs sedikit tertekan,” jelasnya.
Pasalnya, ICP per Agustus 2023 telah tembus ke angka US$82,59/barel, sementara outlook pemerintah hingga akhir tahun di level US$78/barel.
Wahyu melihat stok maupun anggaran setidaknya masih aman jika penyaluran energi tidak melebihi kuota. Untuk solar 17 juta kiloliter dan Pertalite di kisaran 30 juta kiloliter.
Meski Wahyu tidak menampik adanya potensi defisit melebar jika terjadi kenaikan harga minyak tersebut, namun pendapatan negara juga ikut naik dari pendapatan migas dan PNBP.
“Defisit melebar, mungkin iya. Tapi itu dampaknya ke pendapatan juga, karena pendapatan juga naik, defisit sedikit lebih tinggi kalau [harga] naik,” jelasnya.