Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu untuk segera menerapkan sistem subsidi tertutup dan langsung untuk komoditas bahan bakar minyak (BBM) seiring fluktuasi harga minyak dunia.
Ekonom energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat rebound harga minyak mentah dunia belakangan ini bakal berdampak signifikan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Konsekuensiya, subsidi dan kompensasi yang disalurkan tidak akan efisien untuk meredam dampak negatif dari kenaikan harga energi primer saat ini.
“Sistem subsidi tertutup dan langsung kepada pengguna akhir mesti dimatangkan dan dimantapkan untuk bisa diimplementasikan. Sistem insentif langsung untuk mendukung sektor industri dan perekonomian secara luas juga perlu,” kata Pri saat dihubungi, Selasa (19/9/2023).
Seperti diketahui, harga minyak mentah naik ke level tertinggi dalam 10 bulan karena pasar fisik menunjukkan tanda-tanda pengetatan yang didorong oleh pengurangan pasokan dari para pemimpin OPEC+.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate naik di atas US$92 per barel setelah ditutup 0,8 persen lebih tinggi pada hari Senin, (19/9/2023). Sementara itu, harga minyak Brent untuk kontrak November ditutup 0,5 persen lebih tinggi pada US$94,43 per barel.
Harga melonjak karena penyulingan berjuang untuk menghasilkan cukup solar menjelang peningkatan permintaan musiman. Pasar yang lebih ketat telah mendorong prediksi dari CEO Chevron Corp. Mike Wirth bahwa minyak akan kembali mencapai level US$100 per barel.
Baca Juga
Harga minyak mentah telah meningkat lebih dari 30 persen sejak pertengahan Juni karena Arab Saudi dan Rusia membatasi ekspor ke pasar global dalam upaya untuk menguras persediaan dan mendorong kenaikan harga. Membaiknya prospek di dua perekonomian terbesar dunia – Amerika Serikat dan China – juga mendukung kemajuan minyak.
“Imbas kenaikan harga migas di sisi energi primer cepat lambat akan tertransmisikan ke sektor midstream dan hilir, hal tersebut tidak hanya berlaku di tingkat global, tetapi juga berlaku di Indonesia, akan terasa imbasnya di dalam perekonomian secara luas,” kata Pri.
Sebelumnya, CEO Saudi Aramco Amin Nasser bersikap optimistis terhadap prospek permintaan minyak dan meremehkan perkiraan lain mengenai seberapa cepat dunia akan mengurangi konsumsi minyak mentah.
Nasser memperkirakan rekor penggunaan 103 juta hingga 104 juta barel per hari pada paruh kedua tahun ini, dengan permintaan meningkat menjadi 110 juta pada tahun 2030. Hal ini memberikan tanggung jawab pada industri untuk terus mengembangkan sumber produksi baru, daripada menguranginya.
Jeda dalam belanja eksplorasi dan produksi setelah penurunan permintaan energi yang disebabkan oleh pandemi pada tahun 2020 salah satu penyebabnya adalah melonjaknya harga minyak dan gas alam yang mengguncang dunia tahun lalu setelah invasi Rusia ke Ukraina.
“Kita perlu berinvestasi,” kata Nasser. “Jika tidak, dalam jangka menengah dan panjang, kita akan mengalami krisis lagi dan kita akan mengalami kemunduran dalam hal penggunaan lebih banyak batu bara dan produk-produk murah lainnya yang tersedia saat ini. Dan semua upaya dekarbonisasi ini akan sia-sia,” kata dia.