Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bahaya! Indonesia Bisa Jadi Net Importir Gas Bumi

Produksi minyak dan gas atau Migas domestik bakal mengalami penurunan signifikan 12,6 persen dan 4,3 persen, di tengah penigkatan permintaan.
Fasilitas terapung Husky--CNOOC Madura Limited, yang  mengolah minyak dan gas bumi dari pengeboran lepas pantai/Bisnis-Sepudin Zuhri
Fasilitas terapung Husky--CNOOC Madura Limited, yang mengolah minyak dan gas bumi dari pengeboran lepas pantai/Bisnis-Sepudin Zuhri

Bisnis.com, TANGERANG —  Indonesian Petroleum Association (IPA) & lembaga riset energi Wood Mackenzie memproyeksikan Indonesia dapat bergeser menjadi net importir gas bumi pada 2040 di tengah tren permintaan gas domestik yang tinggi tanpa diimbangi pertumbuhan produksi.

Proyeksi itu tertuang dalam paket kebijakan atau white paper yang disusun dengan tajuk "Achieving Resilience in the Energy Transition to Safeguard Indonesia’s Economic Growth & Sustainable Development" yang resmi disampaikan saat agenda IPA Convex, BSD Tangerang, Selasa (25/7/2023). 

Direktur Riset Hulu dan Manajemen Karbon Wood Mackenzie Andrew Harwood mengatakan proyeksi itu ditopang minimnya investasi serta kegiatan eksplorasi di sisi hulu migas Indonesia untuk mengimbangi tren peningkatan permintaan dari dua pasar yang bergeliat saat ini, industri dan pembangkit listrik.

“Kami lihat hari ini dengan penurunan produksi migas dan tumbuhannya permintaan domestik, Indonesia bisa beralih dari net eksportir gas bumi menjadi net importir,” kata Andrew saat membuka panel IPA Convex hari ke-2, BSD Tangerang, Rabu ( 26/7/2023). 

Wood Mackenzie mengidentifikasi sektor industri menjadi pembeli utama gas bumi domestik dengan pertumbuhan yang agresif beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data milik SKK Migas hingga triwulan pertama 2023, pasokan gas domestik sudah mencapai 67 persen jika dibandingkan dengan pasar ekspor. 

Pada periode itu, pasokan gas untuk domestik mencapai 3.539 BBTUD sementara penjualan luar negeri sebesar 1.776 BBTUD. Mayoritas pembelian domestik ditopang oleh sektor industri, kelistrikan dan pupuk. 

Lewat realisasi permintaan itu, Wood Mackenzie memproyeksikan permintaan dari sektor industri bakal tumbuh signifikan lewat skenario bisnis biasanya (business as usual) dan optimistik masing-masing 4,8 persen dan 10,3 persen tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata investasi (compound annual growth rate/CAGR) untuk beberapa dekade mendatang. 

Sementara itu, tanpa adanya investasi masif untuk sisi eksplorasi dan pengembangan lapangan baru, produksi migas domestik dipastikan bakal berada di bawah target 1 juta barel minyak per hari (bopd) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (Bscfd) pada 2030 mendatang. 

“Indonesia butuh pendekatan progresif di hulu, ini perlu didekati dan disikapi dengan cepat untuk menjaga ketahanan dan transisi energi di Indonesia,” kata Andrew. 

Seperti diketahui, outlook produksi jangka panjang migas Indonesia bertumpu pada lapangan-lapangan tua dengan risiko eksplorasi yang tinggi. Beberapa lapangan belum kunjung dimonetisasi hingga saat ini. 

Wood Mackenzie memproyeksikan produksi migas domestik bakal mengalami penurunan signifikan 12,6 persen dan 4,3 persen pada skenario bisnis biasanya dan optimistik CAGR. 

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan Indonesia bakal mengalami surplus gas mencapai 1.715 MMSCFD yang berasal dari beberapa proyek potensial dalam 10 tahun ke depan. Adapun, potensi gas bumi Indonesia cukup menjanjikan dengan cadangan terbukti sekitar 41,62 TCF. 

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan Indonesia masih memiliki 68 cekungan potensial yang belum tereksplorasi untuk ditawarkan kepada investor. 

“Seperti yang diproyeksikan dalam Neraca LNG Indonesia, akan ada peningkatan produksi LNG pada tahun 2028. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia akan mengalami surplus gas hingga 1.715 MMSCFD yang berasal dari beberapa proyek potensial di berbagai wilayah,” kata Tutuka pada acara Workshop "Exploring Short-term Solutions to The Global Gas Crisis", Senin (29/8/2022). 

Sejumlah proyek potensial itu di antaranya Masela yang akan mulai berproduksi setelah pertengahan dekade ini dan Proyek IDD yang diharapkan dapat mendukung produksi LNG Bontang. Selain itu, Wilayah Kerja Andaman dan Agung diharapkan ikut berkontribusi dalam jangka panjang. 

Tutuka memaparkan, produksi LNG Bontang tahun 2026 diperkirakan sebesar 27,7 kargo. Pada tahun berikutnya, produksi akan meningkat menjadi 56,2 kargo. Sejak selesainya ekspor LNG jangka panjang pada tahun 2025, semua produksi LNG diharapkan belum terkontrak. 

Sementara untuk produksi dari Blok Masela, diperkirakan pada tahun 2028, produksi LNG sekitar 149,2 kargo dan hingga tahun 2035 produksinya relatif stabil. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper