Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendesak pemerintah untuk melibatkan pelaku usaha dalam upaya merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No.28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian yang menghambat arus impor terutama bahan baku penolong bagi manufaktur.
Wakil Ketua Bidang Logistik Kepelabuhanan dan Kepabeanan Badan Pengurus Pusat (BPP) GINSI Erwin Taufan menuturkan, sejak berlakunya aturan tersebut, kalangan importir pemegang izin Angka Pengenal Importir Umum (API-U) mengaku kesulitan melakukan importasi dengan demikian berdampak terhadap ketersediaan pasokan bahan baku industri (shortage).
Dengan demikian, menurutnya pemerintah yang membuat aturan ini, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian harus melibatkan pelaku usaha untuk merombak beleid ini.
Lantaran, sambung Erwin, jika pihaknya hanya mendesak pemerintah untuk merevisi beleid ini tanpa mengetahui substansi yang dirombak, hal ini ditakutkan tidak sesuai dengan harapan.
“Implementasinya juga belum tentu sesuai dengan apa yang diinginkan pasar, makannya pemerintah ambil keputusan ini harus melibatkan pelaku usaha jangan yang gede-gede aja,” kata Erwin saat dihubungi Bisnis pada Senin (10/4/2023).
Sebelumnya, GINSI mendesak pemerintah untuk merombak pasal 19 ayat 1 PP No.28/2021 yang mengatur importasi bahan baku termasuk baja secara ketat.
Baca Juga
"Impor Bahan Baku dan atau Bahan Penolong hanya dilakukan oleh Perusahaan Industri yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Produsen (API-P)," bunyi Pasal 19 ayat 1 PP Nomor 28/2021.
Saat ini, GINSI mengklaim akibat tersendatnya impor, industri terkait termasuk yang membutuhkan baja sebagai bahan baku penolong ini hanya akan bertahan hingga Juni tahun ini.
Persoalannya, walau kelak ada revisi beleid, GINSI pun menilai nasib importir sekaligus produsen masih terkatung-katung. "Misal [Revisi] dan impor boleh masuk, kami masih harus menunggu berbulan-bulan agar bahan baku penolong di negara asalnya diproduksi untuk kemudian sampai di Indonesia. Dengan demikian produksi industri terkait tidak akan mencapai titik yang maksimal tahun 2023 akibat hal ini," tegas Erwin.