Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menilai Peraturan Pemerintah (PP) No.28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian menghambat arus impor terutama bahan baku penolong bagi manufaktur hingga berujung pada perumahan ribuan karyawan.
Sejak berlakunya aturan tersebut, kalangan importir pemegang izin Angka Pengenal Importir Umum (API-U) mengaku kesulitan melakukan importasi pesanan bahan baku penolong. Alhasil, pasokan bahan baku penolong yang masuk ke industri manufaktur pun cekak, ditambah lagi banyaknya perusahaan importir yang terancam gulung tikar.
Wakil Ketua Bidang Logistik Kepelabuhanan dan Kepabeanan Badan Pengurus Pusat (BPP) Ginsi Erwin Taufan menuturkan, sejak tahun lalu pihaknya sudah mulai merumahkan karyawan akibat berlakunya beleid ini, bahkan kini jumlahnya sudah mencapai ribuan angka Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK.
GINSI sejauh ini mengklaim jumlah anggota sebanyak lebih dari 1.200 perusahaan se-Indonesia. Persoalannya, hambatan aktivitas impor itupun berimbas signifikan bagi perusahaan importir maupun perekonomian secara keseluruhan, jika seluruh anggota GINSI melakukan perampingan.
Karena itu, GINSI meminta pemerintah merevisi PP No.28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian yang dinilai menghambat arus impor terutama bahan baku penolong bagi manufaktur.
Beleid itu mengatur impor yang dilakukan para pelaku usaha pemegang Angka Pengenal Importir Umum (API-U) tidak lagi bebas. Importasi bahan baku termasuk baja diatur secara ketat.
Baca Juga
"Impor Bahan Baku dan atau Bahan Penolong hanya dilakukan oleh Perusahaan Industri yang memiliki nomor induk berusaha yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir Produsen (API-P)," bunyi Pasal 19 ayat 1 PP Nomor 28/2021.
Dalam hal ini Erwin mendesak pemerintah untuk segera melakukan revisi terhadap aturan yang dianggap mencekik importir tersebut. Lantaran menurutnya, jika tidak segera dilakukan, maka gelombang PHK yang mendera importir dan perusahaan industri yang bergantung pada bahan baku penolong impor.
“PHK sudah dilakukan, tapi apakah menambah atau berhenti kan gelombangnya ini, ribuan karyawan lah sudah di PHK karena ini,” kata Erwin saat dihubungi Bisnis pada Senin (10/4/2023).
Meskipun Erwin tidak menjelaskan secara rinci berapa jumlah karyawan yang telah kehilangan mata pencarian akibat berlakunya beleid ini. Namun menurutnya, perusahaan-perusahaan di bawah naungan GINSI rata-rata memberhentikan sekitar 25 persen hingga 30 persen dari jumlah karyawan.
Sebanyak 25 persen karyawan yang dirumahkan tersebut sebagian merupakan pekerja bagian administrasi di perusahaan importir dan pekerja bagian administrasi di perusahaan industri.
“Jadi yang pengurusan dokumen dan lain-lain ini kan gak ada kegiatan, jadi di PHK, kalau yang dari sisi pabrik, ya bagian produksi, karena ketersediaan bahan baku berkurang, produksinya todak bnisa dimaksimalkan, otomatis dikurangi,” tambah Erwin.
Menurutnya, baik perusahaan importir maupun perusahaan industri terkait tak bisa berbuat banyak selain merumahkan sementara karyawan dan mendesak pemerintah agar segera merevisi aturan tersebut, sehingga produksi bisa berjalan sebagaimana biasanya.
“Mau gak mau, karyawan mau gimana, ada yang di PHK secara putus, ada yang dirumahkan dulu, sementara hentikan sampai bisa mesinnya berproduksi maksimal,” pungkasnya.
Ketua Umum GINSI Subandi mengungkapkan para pelaku usaha importir umum itu sudah didera berkurangnya bahkan nihilnya pendapatan sejak Desember tahun lalu. Sebaliknya, perusahaan tetap berkewajiban mengeluarkan biaya untuk membayar gaji, operasional kantor yang tetap berjalan serta berbagai kewajiban yang harus dibayarkan oleh perusahaan lainnya.
“Belum lagi penalti akibat tidak bisa memenuhi komitmen. Ada juga yang barangnya sudah di down payment di luar negeri tapi barangnya tidak kunjung diambil dan lunasi bisa hilang atau dipotong. Dari semua hal diatas perusahaan akan kolaps dan berujung pada PHK,” kata Subandi saat dihubungi Bisnis pada Kamis (6/4/2023).