Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menilai Peraturan Pemerintah (PP) No. 46/2023 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian belum sepenuhnya jelas dan menjawab kegelisahan para importir.
Ketua Umum GINSI Subandi mengatakan, revisi dari PP No. 28/2021 itu memang menjadi angin segar bagi importir. Namun, kebijakan baru ini kurang efektif apabila minim sosialisasi dari pemerintah dan tak adanya petunjuk teknis pelaksanaan (juknis).
"Hanya saja pemerintah harus secara masif menyosialisasikan PP No. 46/2023 ini supaya jangan sampai nanti di pelaksanaan ada permasalahan dan ada yang tidak dipahami oleh para pelaku usaha importasi yang beridentitas importir umum [API-U]," kata Subandi kepada Bisnis, Jumat (6/10/2023).
Dia mengakui bahwa revisi tersebut, secara umum dan sebagian besarnya telah memenuhi apa yang dikeluhkan para pelaku usaha terkait hambatan arus impor bahan baku penolong bagi manufaktur.
Kendati menjadi harapan baru bagi importir, masalah utama yang ada di Pasal 18 adalah tentang pemberlakuan neraca komoditas. Menurut Subandi, hal ini menjadi hambatan bagi importir dalam hal perizinan impor.
"Importir tidak mendapatkan pengetahuan yang utuh tentang bagaimana cara memasukkan neraca komoditas karena pemerintah menyelenggarakan yang namanya coaching clinic atau bagaimana teknis memasukkannya," ujarnya.
Baca Juga
Dalam PP No. 46/2023, neraca komoditas pun tetap diberlakukan meskipun terdapat tambahan pasal 18A yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut terkait dengan neraca komoditas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).
Di sisi lain, yang menjadi permasalahan utama bagi importir adalah kebijakan impor bahan baku/penolong yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan industri yang memiliki identitas sebagai importir produsen (API-P).
Hal tersebut tercantum dalam Pasal 19 ayat 1 dalam PP No. 28/2021. Sementara itu, dalam revisi PP tersebut ditambahkan ayat 1a yang mengizinkan API-U untuk mengimpor bahan baku/penolong, kendati pada ayat 1b izin tersebut berlaku untuk bahan-bahan tertentu.
"Itu yang dari GINSI dan pelaku usaha juga sebenarnya masih bertanya-tanya, 'Ini sudah bisa belum, apakah kami sudah bisa mulai berusaha apa belum?' Ini yang belum terjawab," tuturnya.
Sebelumnya, GINSI menilai PP No.28/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian menghambat arus impor terutama bahan baku penolong bagi manufaktur membuat pelaku usaha kehilangan omzet hingga triliunan rupiah. GINSI mengeklaim, negara juga akan mengalami kerugian seiring melemahnya kinerja impor bahan baku.
Sejak berlakunya aturan tersebut, kalangan importir pemegang izin Angka Pengenal Importir Umum (API-U) mengaku kesulitan melakukan importasi yang berpotensi membuat gejolak di sektor industri manufaktur.
Wakil Ketua Bidang Logistik Kepelabuhanan dan Kepabeanan Badan Pengurus Pusat (BPP) Ginsi Erwin Taufan menuturkan pemberlakuan beleid ini tidak hanya akan berdampak pada kinerja perusahaan importir ataupun industri yang menggantungkan bahan baku penolong dari luar negeri.
“Efek dominonya luar biasa, pendapatan negara berkurang, perekonomian juga bisa tergerus,” kata Erwin kepada Bisnis pada Senin (10/4/2023).