Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyetujui rencana pengembangan atau plan of development (PoD) pertama Lapangan Tuna di Wilayah Kerja (WK) Tuna yang dioperasikan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) Premier Oil Tuna BV.
Adapun, persetujuan PoD itu dilakukan berdasarkan rekomendasi yang disampaikan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas BUmi (SKK Migas).
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, persetujuan rencana pengembangan pertama Lapangan Tuna menunjukkan daya saing investasi hulu migas domestik yang masih menarik bagi investor dunia.
Kendati lokasi Lapangan Tuna memiliki risiko tinggi, dukungan insentif dan fleksibilitas yang diberikan pemerintah belakangan efektif meningkatkan keekonomian proyek sehingga PoD pertama dapat direalisasikan.
“Investasi Lapangan Tuna sangat besar dari sejak proyek hingga operasional sampai economic limit dengan nilai investasi mencapai US$3,07 miliar atau setara dengan Rp45,4 triliun sehingga akan turut memperkuat dan menggerakkan perekonomian nasional,” kata Dwi melalui siaran pers, Senin (2/1/2023).
Perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar US$1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar US$2,02 miliar. dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar US$147,59 juta.
Baca Juga
Untuk mendorong keekonomian, pemerintah memberikan beberapa insentif dengan asumsi masa produksi sampai 2035 mendatang. Pemerintah mengambil bagian gross revenue sebesar US$1,24 miliar atau setara dengan Rp18,4 triliun. Adapun, kontraktor gross revenue sebesar US$773 juta atau setara dengan Rp11,4 triliun dengan biaya cost recovery mencapai US$3,315 miliar.
Dari sisi penerimaan negara, diperkirakan pemerintah akan mendapat pendapatan hingga mencapai Rp18,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan potensi penerimaan kontraktor yang sebesar Rp11,4 triliun.
“Hal ini menunjukkan pemberiaan insentif untuk meningkatkan keekonomian Lapangan Tuna tetap menempatkan kepentingan negara pada posisi yang tinggi. Bahwa negara harus mendapatkan manfaat terbesar sebagaimana amanah UUD 1945 Pasal 33 kata Dwi.
Pengelolaan hulu migas di wilayah perbatasan seperti di Blok Natuna, menurut dia, tidak hanya soal hitung-hitungan ekonomi saja, tetapi juga kepentingan kedaulatan negara.
“Persetujuan POD pertama kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan proyek di Lapangan Tuna, maka akan ada aktivitas di wilayah perbatasan yang masuk salah satu hot spot geopolitik dunia. Bendera merah putih akan berkibar di lokasi proyek, secara ekonomi dan politik, menjadi penegasan kedaulatan Indonesia di wilayah tersebut”, kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan bisa mengekspor gas ke Vietnam pada 2026 mendatang. Gas yang akan diekspor tersebut berasal dari Blok Tuna yang berada di lepas pantai Natuna Timur, tepat di perbatasan Indonesia-Vietnam.
Blok Tuna ini dioperatori oleh Premier Oil Tuna B.V. (Harbour Energy Group) dengan hak partisipasi 50 persen. Premier Oil bermitra dengan perusahaan migas pelat merah asal Rusia, Zarubezhneft lewat anak perusahaannya, ZN Asia Ltd yang juga memegang hak partisipasi 50 persen.
Menteri ESDM Arifin Tasrif belum memerinci berapa besaran volume gas yang akan diekspor. Namun, dia mengungkapkan bahwa potensi gas yang dihasilkan di Blok Tuna berkisar 100-150 million standard cubic feet per day (MMscfd).
“Potensinya di sana 100-150 MMscfd. Kami sih targetnya 2026 sudah bisa ekspor,” tutur Arifin saat berbincang dengan media di Kementerian ESDM, Jumat (23/12/2022).
Dia menuturkan, ekspor gas ke Vietnam lebih menguntungkan ketimbang harus menyalurkan gasnya ke Indonesia. Hal ini lantaran Blok Tuna lebih dekat dengan Vietnam. Nantinya, akan dibangun pipa gas untuk menyalurkan gas tersebut ke Vietnam.
Berdasarkan catatan Bisnis, fasilitas produksi terdekat dari Blok Tuna yang berada di perairan Indonesia adalah di wilayah kerja Natuna Sea Block A yang berjarak sekitar 385 kilometer (km). Alhasil, pengembangan lapangan Tuna bisa menjadi tidak ekonomis jika disalurkan ke Indonesia memakai fasilitas tersebut.