Bisnis.com, JAKARTA — Pemuda itu tampak serius menatap layar ponselnya untuk mengincar lelang laptop di salah satu akun Instagram dan hatinya dag dig dug menunggu pengumuman pada malam harinya. Nahas, nasib sial ternyata menunggu dia beberapa hari setelahnya.
Antusiasme pemuda berinisial S tersebut meningkat saat menemukan penawaran lelang laptop dengan harga dasar Rp1 juta. Menurutnya, penawaran itu cukup terjangkau dan sesuai kebutuhannya, membuat dia percaya diri untuk memasang harga Rp1,5 juta saat mengikuti lelang.
"Alhamdulillah-nya saya yang terpilih," ujar S saat menceritakan pengalamannya, pekan lalu.
Malam hari usai pengumuman itu, pemilik akun Instagram lelang mengirimkan pesan kepada S untuk membayar laptop tersebut. Transaksi Rp1,5 juta berhasil, S diminta untuk menunggu proses pencatatan dan pengiriman, hatinya riang kala itu.
S tidak berprasangka apa-apa karena dia tahu proses lelang dan pengiriman barang memang memakan waktu. Dia pun yakin akan keaslian lelang tersebut karena banyaknya testimoni di akun Instagram terkait, bahkan beberapa dari pesohor publik, sehingga terlihat sebagai akun bisnis asli.
Selang sepekan, beberapa telepon dari nomor tidak dikenal masuk kepada S. Dia memang selalu membiarkan telepon dari nomor tidak dikenal tanpa pemberitahuan lebih awal, tetapi karena intensitasnya semakin sering, telepon itu pun diangkat.
Baca Juga
Sang penelpon mengaku sebagai petugas Bea Cukai di Bandara Soekarno Hatta, yang menemukan barang ilegal dengan tujuan pengiriman kepada S. Orang itu mengaku menyita barang tersebut karena tidak terdapat dokumen penyerta, dan S harus bertanggung jawab atas barang tersebut.
"Lalu keluarlah waktu ancaman, bapak ini beli barang ilegal, barangnya disita, kurang bayar ini itu. Kalau ini enggak diurus kami akan datang ke tempat bapak beserta pihak kepolisian dan militer," ujar S menirukan suara orang di telepon.
S berada dalam kondisi terjepit, karena dia memang belum memastikan legalitas barang itu sebelum mengikuti lelang sehingga cukup terkejut saat mendapatkan kabar itu. Lalu, hal lain yang semakin membuatnya panik adalah tujuan pengiriman barang itu ke tempat usahanya.
Di tempat usahanya tersebut terdapat beberapa karyawan yang dia ajak dari desa. S khawatir perkara laptop itu benar dan terdapat aparat yang mendatangi tempat usahanya sehingga membuat para karyawan itu takut.
S kembali menerima telepon dari orang tersebut sembari mengirimkan surat dengan blanko Bea Cukai dan keterangan denda, terlihat seperti surat resmi. Pelaku meminta agar S membayar Rp3,75 juta untuk menyelesaikan perkara tersebut.
"Sebelum saya bayar, saya sempat tanya penjual laptopnya kenapa sampai kejadian seperti ini, karena yang saya beli barang seken, bukan dari luar negeri. Kalau tidak salah dari Lampung. Penjual laptop ini bilang bapak bayar saja, karena sebelumnya ini juga pernah kejadian, nanti uang yang dibayarkan ke Bea Cukai akan saya ganti. Dengan iming-iming itu saya transfer lah," ujar S.
Hatinya cukup tenang saat menyelesaikan pembayaran Rp3,5 juta dan dikonfirmasi oleh si pelaku. Saat itu, S tidak berharap banyak, laptopnya tiba syukur, kalau batal pun setidaknya masalah dia dengan aparat sudah selesai.
Nyatanya, selang beberapa lama orang yang mengaku pihak Bea Cukai itu meminta lagi pembayaran Rp7 juta. S kembali panik, tetapi rasa curiga lebih mendominasi pikirannya, hingga akhirnya dia berusaha mencari konfirmasi dan menyadari bahwa hal tersebut merupakan penipuan.
"Saya ada teman di Kementerian Keuangan, saya tanya ke dia, selang satu jam terkonfirmasi bahwa itu penipuan. Setiap kali penipu menelpon akhirnya saya abaikan," ujar S.
Cerita lainnya datang dari V, perempuan yang awalnya berniat untuk menutup 2022 dengan berpelesir bersama temannya. V menjelajahi Instagram untuk mencari koper dan menemukan akun yang memiliki katalog cukup lengkap, salah satu barang dibanderol Rp750.000.
Dia pun menghubungi admin akun tersebut, yang langsung mengarahkannya untuk berkomunikasi melalui WhatsApp, lalu V menerima formulir pemesanan barang dan mengisinya. V sempat bertanya perihal pesanannya yang akan dikirimkan ke dua alamat berbeda, dijawab tidak masalah oleh admin akun itu.
"Saya pesan dan bayar, kopernya diproses. Kebetulan di rumah saya banyak yang kerja jadi saya bilang, tunggu ya barangkali nanti ada [paket] koper," ujar V.
Tak lama, V menerima pesan dari pihak yang mengaku Bea Cukai, menanyakan kebenaran alamat pengiriman dan identitas dari paket koper. Pihak itu menggunakan modus yang sama, menyatakan bahwa barang terkait tidak memiliki dokumen, ilegal, sehingga V perlu membayar denda atau akan terkena pidana.
V kemudian bertanya kepada admin penjual, kenapa bisa barang yang dia beli menjadi ilegal. V diarahkan ke admin lainnya, tetapi jawaban yang diterima adalah agar prosedur dari pihak Bea Cukai tersebut diikuti saja agar permasalahan selesai.
"Admin itu bilang sebelumnya ada customer lain yang kena kasus sama, setelah diikuti prosedurnya barang akan didapat, biayanya diganti oleh penjual. Ya sudah, saya bayar. Saya pikir sudah beres. ternyata ditelepon lagi karena saya enggak ada di tempat jadi enggak ada jaminan pengesahan sementara," ujar V.
Pihak yang mengaku Bea Cukai itu menyatakan seolah-olah pemberian barang harus langsung ke tangan V dengan jaminan pengesahan sementara. Namun, setelah prosedur diikuti, justru muncul permintaan biaya lain, yakni jaminan pelepasan.
"Karena waktu itu posisi sudah blank, ada rapat lain juga, saya udah enggak fokus. Dia bolak-balik menelepon, akhirnya saya ikuti [membayar biaya yang diminta]. Beli koper Rp750.000 tetapi malah habis puluhan juta, mending saya beli [koper] yang asli," ujar V.
Bukan hanya V yang mendapatkan teror telepon, temannya sebagai penerima koper lainnya turut mendapatkan instruksi serupa. Namun, hanya V yang melakukan transaksi.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Hatta Wardhana menjelaskan bahwa modus penipuan yang mengatasnamakan pihaknya terus berkembang di masyarakat. Ternyata, kerugian dari modus penipuan itu telah mencapai miliaran rupiah.
"Total kerugian Rp8,3 miliar yang sudah ditransferkan [oleh korban]," ujar Hatta dalam media briefing Ditjen Bea Cukai, pekan lalu.
Terdapat potensi kerugian yang berhasil terselamatkan senilai Rp12,6 miliar. Menurut Hatta, angka itu berasal dari seluruh pengaduan calon korban yang telah dihubungi pelaku tetapi belum melakukan transfer, karena calon korban melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada Bea Cukai.
Kerugian mencapai miliaran di antaranya karena penipuan terus berkembang di masyarakat. Hal itu tercermin dari jumlah laporan masyarakat kepada Bea Cukai yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan mencapai puncaknya pada 2022.
Pada 2018, jumlah laporan penipuan yang masuk ke layanan pengaduan telepon Bea Cukai di nomor 1500 225 adalah 1.463 kasus, lalu naik pada 2019 menjadi 1.501 kasus. Pada 2020 jumlahnya kembali naik ke 3.284 laporan, sempat turun pada 2021 menjadi 2.491 laporan, tetapi melonjak pada Januari—November 2022 mencapai 6.958 laporan.
"Penipuannya macam-macam modusnya, mulai dari modus diplomatik, romansa, money laundering, lelang, dan paling banyak berkedok sebagai online shop, ini yang paling banyak terjadi yang mengadukan kasusnya ke kami," kata Hatta.