Bisnis.com, JAKARTA — Industri manufaktur dan jasa secara global mencatatkan perlambatan kinerja dan kondisi itu diperkirakan akan berlanjut pada tahun depan, seiring suramnya prospek ekonomi dunia. Hal itu didukung lantaran Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur global yang terkontraksi.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Abdurohman menjelaskan bahwa inflasi dan suku bunga yang terus meningkat memberikan tekanan terhadap prospek ekonomi global tahun depan. Sektor manufaktur dan jasa secara global pun terimbas oleh kondisi itu.
PMI Manufaktur mulanya berada di 49,4, tetapi pada November 2022 turun ke 48,8. PMI Manufaktur yang berada di bawah 50 menunjukkan sektor itu sudah berada di titik kontraksi, yang berarti industri menahan dulu ekspansi dalam beberapa bulan ke depan.
Kondisi serupa terjadi di sektor jasa, yang tercermin dari PMI Jasa yang berada di titik kontraksi. Sebelumnya, PMI Jasa berada di 49,2, tetapi pada November 2022 turun ke 48,1.
"Aktivitas manufaktur mereka termasuk jasa sudah dalam kondisi kontraksi. Ini yang saya kira tiga bulan terakhir trennya seperti itu dan kemungkinan akan berlanjut pada 2023," ujar Abdurohman dalam acara Indonesia Economic Outlook 2023: Overcoming Challenge Through Sustainability, Selasa (20/12/2022).
Tekanan sektor manufaktur juga tercermin di kawasan Asia Tenggara, di mana hanya tiga negara yang masih dalam level ekspansif atau PMI Manufaktur di atas 50, yakni Indonesia (50,3), Thailand (51,1), dan Filipina (52,7). Sementara itu sejumlah negara besar sudah mengalami kontraksi, seperti China (49,4), Jepang (49,0), Korea Selatan (49,0), Amerika Serikat (47,6), dan kawasan Eropa (47,3).
Kontraksi PMI Jasa pun membebani prospek ekonomi negara-negara maju, yang sebagian besar bergantung kepada sektor jasa. Hal tersebut membuat perekonomian global akan mengalami tekanan pada awal tahun depan.
"[Tekanan] ini tercermin dari outlook global yang dikeluarkan International Monetary Fund [IMF]. Jadi, proyeksi mereka terus mengalami koreksi ke bawah yang cukup signifikan, sementara kalau kita lihat inflasinya terjadi lonjakan yang sangat tinggi," kata Abdurohman.