Bisnis.com, BADUNG — Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) untuk memulai pembahasan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon-1 dengan kapasitas daya 660 megawatt (MW) yang berlokasi di Jawa Barat.
Nota kesepahaman itu turut ditandatangani oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, Indonesian Investment Authority (INA) dan pemilik PLTU Cirebon-1, Cirebon Electric Power (CEP) saat Grand Launching Indonesia Energy Transition Mechanism Country Platform di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).
President ADB, Masatsugu Asakawa, mengatakan program pensiun dini PLTU Cirebon-1 itu nantinya bakal menggunakan struktur pendanaan gabungan atau blended finance dari skema energy transition mechanism (ETM).
Berdasarkan hitung-hitungan ADB, pendanaan pensiun dini PLTU Cirebon-1 berkisar di angka US$230 juta hingga US$300 juta atau setara Rp3,56 triliun hingga Rp4,65 triliun.
“Krisis iklim saat ini tidak dapat diatasi tanpa skema ini, terutama di kawasan kita di mana banyak PLTU masih begitu muda,” kata Asakawa di Nusa Dua, Bali, Senin (14/11/2022).
Adapun, tenggat waktu ihwal eksekusi pensiun dini PLTU Cirebon-1 masih dalam pembahasan seiring dengan negosiasi yang belum selesai terkait dengan besaran pendanaan yang dibutuhkan. Seperti diketahui, PLTU itu telah memiliki kontrak operasi hingga 2042 mendatang untuk memasok listrik ke PLN.
Ihwal pendanaan gabungan itu akan terdiri dari concessional capital dan modal dari ADB. Pendanaan concessional itu melingkupi bantuan dari kemitraan di ETM Partnership Trust Fund dan sebagian alokasi investasi dari pemerintah Indonesia.
Kendati demikian, struktur pembiayaan pensiun dini itu belum juga rampung lantaran sejumlah lembaga keuangan dan filantropi belakangan menunjukkan ketertarikan mereka untuk ikut bergabung.
“ADB sangat bangga untuk memulai dengan Indonesia dan mitra lainnya, mengubah lanskap energi kita, kami menunggu kemitraan selanjutnya untuk masa depan yang lebih makmur dan inklusif,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, PLN tengah mendorong penghentian operasi PLTU berkapasitas 5,5 GW sebelum 2030 sebagai langkah awal perseroan memberi ruang untuk investasi hijau masuk ke sistem kelistrikan nasional.
Manuver itu diperkirakan menelan investasi sebesar US$6 miliar atau setara dengan Rp89,3 triliun. Kebijakan itu juga diambil untuk mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik yang andil pada sejumlah sikap mendua PLN pada inisiatif hijau yang dimulai swasta.
Hanya saja program penghentian PLTU seluruhnya hingga 2050 diproyeksikan bakal sulit dilakukan. Center for Global Sustainability University of Maryland, memperkirakan kebutuhan dana yang perlu diamankan PLN mencapai US$32,1 miliar atau setara Rp475,4 triliun. Di sisi lain, PLN mesti menaikkan kapasitas serta ekosistem pembangkit EBT dengan nilai investasi menyentuh US$1,2 triliun atau setara Rp17.772 triliun hingga 2050.
“Ini bukan biaya yang kecil kita harus lihat kemampuan fiskal Indonesia seberapa jauh untuk menyerap ini. Siapa yang seharusnya mendanai ini apakah filantropi, multilateral, bilateral atau swasta tertarik untuk ikut masuk,” kata Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN, Sinthya Roesly.
Hanya saja, Sinthya menuturkan, pendanaan internasional dan perbankan untuk akselerasi penghentian operasi PLTU di Indonesia relatif sulit dilakukan saat ini. Menurutnya, pemberi pinjaman masih berhati-hati untuk ikut mendanai program pensiun dini PLTU lantaran sentimen pembiayaan hijau saat ini.