Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia menjelaskan bahwa depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah berisiko menyebabkan kenaikan inflasi biaya atau imported inflation. Kebijakan moneter pun mempertimbangkan aspek pengendalian inflasi dan pergerakan nilai tukar rupiah.
Direktur Eksekutif, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan bahwa salah satu latar belakang utama bank sentral menaikkan suku bunga acuan dua kali adalah untuk menjaga kestabilan nilai rupiah. Pasalnya, rupiah mengalami pelemahan dalam beberapa waktu terakhir.
Erwin menyebut bahwa depresiasi rupiah dapat berpengaruh terhadap inflasi Indonesia. BI telah melakukan intervensi valas untuk menanganinya, tetapi ternyata belum cukup, sehingga kenaikan suku bunga acuan menjadi pilihan.
"Makanya kebijakan kemarin juga untuk menjaga depresiasi tidak memburuk, karena nanti dampaknya kepada imported inflation," ujar Erwin pada Selasa (1/11/2022).
Selain itu, menurutnya, kenaikan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 4,75 persen merupakan langkah untuk menjaga ekspektasi inflasi. Apabila ekspektasi itu terus ada sehingga banyak orang menukarkan rupiah dengan dolar agar tidak terjadi depresiasi, justru depresiasi itu akan terjadi.
"Respons kebijakan tadi itu, sebetulnya untuk menjaga itu. Bahwa BI ngerti kok ada tekanan inflasi dan kami menjaga itu. Itu juga untuk menentramkan pasar. Kami bukan behind the curve, sebenarnya pengen jaga ekspektasi juga," katanya.
Baca Juga
Selain itu, BI pun melakukan langkah penanganan inflasi di daerah, terutama untuk menyelesaikan gangguan di sisi pasokan (supply). Tingginya inflasi pangan (volatile food) terjadi karena adanya hambatan di sisi pasokan, sehingga penanganannya pun harus ada di sisi itu.
"Itu yang menyebabkan di awal BI tidak buru-buru menaikkan suku bunga, karena identifikasi penyebab inflasi faktor supply itu," katanya.