Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah meminta adanya perubahan mekanisme pembayaran subsidi energi kepada PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) menjadi setiap tiga bulan, dari saat ini setiap semester atau tahunan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tingginya konsumsi energi beserta melesetnya sejumlah asumsi membuat beban subsidi dan kompensasi energi 2022 membengkak. Anggaran Rp502 triliun yang sudah disiapkan akan terlampaui, sehingga terdapat tambahan limpahan beban ke 2023.
Menurut Sri Mulyani, dalam kondisi itu arus kas (cashflow) Pertamina dan PLN harus menjadi perhatian agar pengelolaan energi tidak terganggu. Salah satu cara untuk menjaga arus kas itu salah satunya dengan mempercepat pencairan subsidi.
"Pemerintah sepakat untuk segera melakukan pembayaran ke Pertamina dan PLN dengan frekuensi tiga bulan sekali, berbeda dengan selama ini, di mana kita menunggu sampai akhir tahun dan mendapatkan audit. Ini agar cashflow yang ada di Pertamina, PLN, dan dari sisi akurasi refleksi APBN kita menjadi jauh lebih fleksibel," ujar Sri Mulyani pada Rabu (14/9/2022).
Menurut Sri Mulyani, peraturan perundang-undangan memang mengamanatkan pembayaran subsidi dan kompensasi setelah berakhirnya satu tahun pembukuan. Namun, dalam kondisi saat ini, dia menilai perlu adanya percepatan pembayaran subsidi.
Pemerintah telah menetapkan nilai subsidi energi tahun depan senilai Rp212 triliun. Anggaran itu terdiri dari subsidi BBM Rp21,5 triliun, liquid petroleum gas (LPG) tabung 3 kilogram Rp117,8 triliun, dan listrik Rp72,6 triliun.
Baca Juga
Nilai subsidi energi itu tercatat bertambah Rp1,3 triliun dari rencana awal dalam RAPBN 2023. Banggar meminta pemerintah menaikkan target penerimaan negara hingga Rp19,4 triliun, sehingga target belanja pun naik di angka yang sama, salah satunya mencakup belanja subsidi energi.
"Dengan adanya perubahan penerimaan negara dan subsidi, kami menyampaikan usulan pendapatan negara dengan kesepakatan panja untuk menambah subsidi energi Rp1,3 triliun," ujar Sri Mulyani.