Bisnis.com, JAKARTA — Masih rendahnya nilai harta repatriasi atau yang ditarik masuk ke dalam negeri melalui program pengungkapan sukarela atau PPS dinilai karena sejumlah faktor, mulai dari kenyamanan wajib pajak menyimpan aset di negara safe haven hingga rumitnya proses repatriasi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, hingga Minggu (5/6/2022) pukul 23.00 WIB, nilai harta repatriasi dari peserta PPS tercatat hanya Rp1,45 triliun. Jumlah itu setara dengan 1,2 persen dari total harta peserta PPS yang telah dilaporkan yaitu Rp125,2 triliun.
Nilai harta repatriasi itu lebih kecil dari total harta terungkap di luar negeri, yakni senilai Rp9,16 triliun atau lima kali lebih besar. Adapun, total harta di dalam negeri yang diungkapkan peserta PPS mencapai Rp107,3 triliun.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa wajib pajak peserta PPS memiliki banyak pertimbangan untuk melakukan repatriasi. Wajar jika kemudian nilai repatriasi lebih rendah dari pengungkapan harta di luar negeri, meskipun mereka akan memperoleh tarif pajak lebih besar jika tak menarik hartanya.
Alasan pertama menurut Fajry adalah jika para peserta PPS memiliki aset tidak likuid di luar negeri, seperti properti. Jika demikian, menurutnya, hampir dipastikan bahwa peserta PPS itu hanya akan melakukan deklarasi luar negeri atau tidak melakukan repatriasi.
"Mengapa demikian? Properti tidak bisa direpatriasi dan kalaupun mau, wajib pajak harus menjualnya dahulu. Tentunya, wajib pajak akan mengalami kerugian atau menjual lebih murah jika harus menjual propertinya secara cepat [karena tenggat waktu PPS]," ujar Fajry kepada Bisnis, Senin (6/6/2022).
Baca Juga
Kedua, Fajry menjelaskan bahwa terdapat studi yang mengungkapkan bahwa orang kaya menaruh uangnya di tax haven lebih karena pertimbangan risiko, bukan imbal hasil (return). Tak heran jika kemudian ada peserta PPS yang menginginkan hartanya tetap berada di negara tax haven dan cukup mengungkapkannya saja kepada pemerintah.
"Bagi mereka itu 'yang penting aman', jadi mereka rela membayar tarif [PPS] lebih besar asal uang mereka berada di-tempat yang 'aman'. Risiko berinvestasi di Indonesia menentukan, mungkin mereka melihat risiko di Indonesia lebih besar dibandingkan negara tax haven," katanya.
Ketiga, repatriasi membutuhkan proses. Fajry menilai bahwa berdasarkan pengalaman tax amnesty pada 2016—2017, proses repatriasi tidak semudah dibayangkan, sehingga wajib pajak yang tidak ingin 'ribet' akan lebih memilih deklarasi luar negeri saja.
Sayangnya, menurut Fajry, tidak banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah agar nilai repatriasi bertambah pesat dalam sisa 23 hari pelaksanaan PPS—yang sering disebut tax amnesty jilid II. Perbaikan risiko investasi untuk menarik dana ke dalam negeri akan membutuhkan waktu dan manfaatnya baru terlihat dalam jangka panjang.
"Mungkin yang dapat dilakukan, pemerintah dapat membantu mempermudah proses repatriasi, dan ini membutuhkan pihak lain seperti perbankan," ujar Fajry.