Bisnis.com, JAKARTA-Ketua Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI),Sahat Sinaga mengungkapkan pihak swasta sebenarnya sudah enggan untuk memproduksi minyak goreng (Migor). Pasalnya, pangsa pasar internasional lebih bagus dibanding produksi minyak goreng yang hanya 4,8 juta ton per tahun di dalam negeri.
“Swasta juga sebenarnya malas [produksi migor], karena pasar ekspor bagus ke sanalah. Apalagi dikasih subsidi, waduh,” kata Sahat kepada Bisnis, Rabu (20/4/2022).
Oleh karena itu, menurutnya, tidak elok memaksa produsen minyak kelapa sawit untuk fokus pada penyediaan sawit di dalam negeri.
“Kalau tidak ada mereka [swasta] memang sawit tumbuh? Janganlah sudah menanam terus dilarang happy-happy, janganlah begitu,” tutur Sahat.
Sahat mengatakan, kelangkaan dan mahalnya minyak goreng jangan ditimpakan kepada pihak swasta semata. Sebab, kata dia, pemerintah yang tidak punya konsep meski Indonesia merupakan penghasil minyak mentah (CPO) terbanyak di dunia.
Berdasarkan data Indexmundi.com, Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbanyak di seantero dunia. Tahun lalu produksi minyak sawit Indonesia mencapai 44,5 juta ton. Jika milihat data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) angkanya lebih besar lagi. Tahun 2021 produksi CPO Indonesia menembus 46,8 juta ton.
Baca Juga
Salah satu kesalahannya, menurut dia, perdagangan sawit Indonesia terlampu tergantung kepada ekspor bahan mentah. Pemerintah kurang fokus dalam mengurus bahan ekspor bernilai tinggi
“Jadi, jangan produk kita itu tergantung ekspor. Sekarang sawit kita 36,4 persen itu domestic dan 63,6 itu ekspor. Jadi kalau kita tergantung ekspor bagaimana menentukan harga ekspor?,” ujarnya.
“CPO itu kan pembantu. Kita perlu kan ekspor reporter, jurnalis, IT yang gitu gitu dong punya nilai tambah tinggi. Janganlah pembantu yang diekspor. Jadilah tuan di negara sendiri. Sekarang ini mau apa sudah salah kaprah.”
Dia pun meminta kepada pemerintah untuk menyerahkan urusan minyak goreng kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Oleh karena itu, dia mengajak agar BUMN memperluas lahan perkebunannya supaya bisa kuat bersama swasta.
“Jadi swasta tidak usah ikut-ikut. Sekarang swasta 58 persen, BUMN cuma 4 persen penguasaan lahannya,” imbuhnya.
Dia beralasan perbandingan perkebunan sawit sawit yang lebih luas dibanding punya negara lantaran dosa era Presiden Soeharto. “Zaman pak Harto hanya swasta yang diberi kesempatan. Jadilah itu. Itu nomor satu,” ucapnya.
Jika migor sudah dipegang BUMN, ke depannya, Sahat menjelaskan swasta akan fokus dalam produksi biodiesel (B30). “Nah dalam negeri harus 65 persen maka kita undang biodiesel sebesar-besarnya silakan. Jadi kita tiak ekspor minyak sawit lagi, kita ekspor biodiesel. Lebih banyak nilai tambahnya dibanding ekspor pembantu,” pungkasnya.