Bisnis.com, JAKARTA - Peneliti Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Siti Nur Rosifah menyoroti alokasi anggaran untuk pembayaran bunga utang pemerintah pada RAPBN 2022 yang mencapai Rp405,9 triliun.
Angka tersebut hampir setara dengan seluruh alokasi anggaran perlindungan sosial (perlinsos) untuk lebih dari 160 juta masyarakat miskin.
Adapun, alokasi untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp405,9 triliun itu terdiri dari Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri sebesar Rp393,7 triliun dan Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri Rp12,2 triliun.
Sedangkan, alokasi untuk perlinsos mencakup dana perlinsos umum seperti Kartu Sembako, subsidi listrik, LPG dan BBM, bantuan iuran PBI-JKN, serta BLT Dana Desa.
Kemudian, perlinsos ibu hamil dan balita yaitu PKH; perlinsos usia sekolah yaitu PKH, PIP; perlinsos usia produktif yaitu Kartu Pra Kerja, KIP Kuliah, Subsidi KUR; dan perlinsos lansia yaitu PKH. Total dari 5 (lima) perlinsos tersebut mencapai Rp427,5 triliun.
“Keberpihakan anggaran pada si miskin justru semakin memburuk di kala krisis. Tidak terlihat kemauan dan keberanian politik yang memadai untuk memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat di masa pandemi,” kata Siti dalam keterangan resmi, Jumat (27/08/2021).
Baca Juga
Selain itu, beban bunga utang melonjak dari 17,9 persen dari penerimaan perpajakan pada 2019, menjadi 24,4 persen dari penerimaan pajak pada 2020. Beban bung aitu jauh di atas batas aman pada kisaran 7-10 persen.
“Dengan seperempat penerimaan perpajakan habis hanya untuk membayar beban bunga utang saja, maka ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas. Dan ke depan, angka ini masih berpotensi meningkat,” jelasnya.
Adapun, IDEAS memproyeksikan beban bunga utang akan berada di kisaran 30 persen dari penerimaan perpajakan tahun 2024.
Menurut Siti, doktrin yang menjadi justifikasi hal tersebut adalah utang harus dibayar; apapun kondisi awal dari utang; untuk apa utang digunakan; dan sedarurat apapun kondisi gagal bayar.
“Menjaga reputasi di hadapan kreditor menjadi kredo suci. Repayment rule menjadi benteng kokoh pemerintah untuk selalu berutang dan mengakumulasi-nya sepanjang waktu,” ujarnya.
Sementara itu, Siti menilai paradoks terbesar selanjutnya yang dikukuhkan RAPBN 2022 adalah semakin minimnya dukungan fiskal untuk sektor kesehatan. Dengan wabah yang masih mengganas dan tersebar semakin merata ke penjuru negeri, dia menilai semakin rendahnya anggaran kesehatan sangat memprihatinkan.
“Ketika pemerintah melakukan pembayaran bunga utang untuk investor hingga 2,3 persen dari PDB pada RAPBN 2022, di saat yang sama sektor kesehatan yang merupakan garda terdepan perang melawan pandemi hanya menerima alokasi 0,8 persen dari PDB,” ungkapnya.
Beban utang pemerintah yang semakin menghimpit, jelas Siti, tercermin dari rasio antara cicilan pokok dan bunga utang dengan penerimaan perpajakan, yang mencerminkan pendapatan pemerintah sesungguhnya.
Beban cicilan pokok dan bunga utang melonjak dari kisaran 30,8 persen dari penerimaan perpajakan pada 2015, menjadi 73,7 persen dari penerimaan perpajakan pada 2021. Angka tersebut jauh di atas batas aman yaitu pada kisaran 25-35 persen.
“Dengan kini hampir tiga per empat penerimaan perpajakan diprioritaskan untuk membayar beban bunga utang dan cicilan pokok utang yang jatuh tempo, maka ruang fiskal yang tersisa menjadi sangat terbatas,” papar Nur Rosifah.
Di sisi lain, besarnya porsi belanja terikat pemerintah yang merupakan non-discretionary expenditure, maka belanja untuk stimulus fiskal dan perlindungan sosial di bawah diskresi pemerintah seringkali harus dibiayai dengan utang.
“Atas nama rakyat kemudian defisit anggaran dilakukan. Pembuatan utang baru menjadi terbenarkan dan bahkan seolah menjadi tugas mulia, terlebih kini di masa pandemi,” pungkasnya.