Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan setelah Idul Fitri dinilai patut diwaspadai. Pasalnya, lonjakan kasus positif Covid-19 di beberapa wilayah Indonesia dikhawatirkan dapat memengaruhi fluktuasi harga komoditas pangan.
Data Indeks Bulanan Rumah Tangga (Indeks BU RT) dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan harga tujuh dari sembilan komoditas pokok mengalami kenaikan yang pesat, salah satunya harga daging yang mengalami kenaikan paling ekstrim.
Peneliti CIPS Indra Setiawan mengatakan harga daging naik sekitar 7 persen pada periode April ke Mei 2021. Adapun, harga daging sapi meningkat dari Rp154.750 menjadi Rp165.900. Sementara itu, Harga ayam juga merangkak naik dari Rp36.900 menjadi Rp40.722.
Kenaikan disebabkan beberapa faktor, seperti adanya peningkatan permintaan yang terjadi semenjak awal bulan Ramadan. Peningkatan ini jauh lebih pesat dibandingkan Ramadan tahun lalu dan berbarengan dengan permintaan menjelang Idul Adha.
Selain itu, para pedagang tidak memiliki stok daging yang mencukupi sehingga terpaksa menyembelih sapi betina yang seharusnya mampu bereproduksi, untuk menjaga ketersediaan sapi jantan saat Idul Adha. Kebijakan impor juga ditengarai menjadi penyebab kenaikan harga daging. Sebab, sapi di Australia sekarang sedang anjlok ketersediaannya.
Sementara itu, kenaikan harga ayam juga dipengaruhi sengketa Indonesia dengan World Trade Organization (WTO) perihal impor ayam dari Brazil. Impor ayam dari sana pun terus menurun, serta didorong mahalnya harga pakan dan jagung yang ada di atas rerata dengan nilai Rp3.000 dan Rp5.000 untuk masing-masing.
Baca Juga
Kenaikan harga ayam juga diikuti kenaikan harga telur sebesar 7 persen dari Rp26.619 ke Rp28.170. Kenaikan harga ini terjadi setelah sebelumnya harga telur jatuh cukup dalam. "Kenaikan harga ini disebabkan oleh naiknya konsumsi telur jelang Idul Fitri. Kenaikan ini cukup pesat, hingga bisa menyaingi penurunan harga di periode sebelumnya," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (23/6/2021).
Namun, kenaikan tidak diikuti oleh gula yang tidak mengalami banyak pergerakan dari segi harga. Harga gula di Indonesia pun justru cenderung menurun akibat masuknya gula impor. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) juga menunjukkan bahwa harga gula naik dari Rp16.400 dari Rp18.000 pada Mei 2021.
“Beberapa faktor, seperti serangan hama juga dapat menjatuhkan harga gula ke depannya. Kami menyimpulkan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh impor yang lebih berefek ke harga gula di daerah,” jelas Indra.
Selain itu, tren pergerakan harga beras juga tidak jauh berbeda dengan pergerakan harga gula. Harga beras hanya sedikit meningkat dari Rp12.508 ke Rp12.589.
“Dapat disimpulkan bahwa bulan Mei dipenuhi dengan inflasi komoditas. Namun, inflasi yang ada belum tentu menggambarkan peningkatan dari permintaan konsumen. Permintaan yang meningkat hanya dapat dilihat dari perubahan harga daging," sambungnya.
Di sisi lain, sejumlah komoditas masih cenderung dipengaruhi oleh kebijakan impor dan guncangan eksternal. Pemerintah pun perlu menganalisis masalah rantai pasokan dan ketersediaan di lapangan guna mencegah pergerakan harga yang ekstrim dan mengendalikan inflasi.
Pemerintah juga harus mengamati kemampuan konsumsi konsumen dalam membeli barang penting tersebut. Membaca pasar menjadi penting untuk menebak perilaku pembelian dalam mendekati hari raya yang akan datang. Pada akhirnya, kebijakan yang diambil pun dapat menyesuaikan dengan pergerakan harga.