Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha di sektor ritel diperkirakan kembali harus menelan pil pahit setelah pemerintah membatasi jam operasional di sejumlah tempat usaha menjadi pukul 20.00 WIB ketika Indonesia dilanda gelombang kedua pandemi Covid-19.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N. Mandey memperkirakan indeks penjualan riil (IPR) sebagai indikator utama kondisi bisnis sektor ritel yang sudah berada di trek positif sejak awal tahun, kemungkinan bisa anjlok hingga ke zona negatif.
"Juni ini indeks penjualan riil dipastikan akan terjun bebas karena orang sudah mulai menahan pengeluaran untuk belanja. IPR Juni bisa turun hingga minus 5-10 persen," ujar Roy, Senin (21/6/2021).
Kondisi sektor ritel di Tanah Air sendiri sebenarnya sudah bergerak cukup meyakinkan menuju pemulihan jika dibandingkan dengan awal tahun. Pada Januari, IPR berada di level -16,4 persen. Kendati turun menjadi -18,1 persen pada Februari, angka IPR kembali membaik ke level -17,1 persen pada Maret lalu.
Memasuki April 2021, Bank Indonesia (BI) mencatat IPR berada di level -14,6 persen. Angka tersebut kemudian melonjak signifikan pada Mei 2021 seiring dengan membaiknya kondisi dunia usaha dan industri di Tanah Air, yakni bergerak ke level 9,8 persen.
Terkait dengan hal tersebut, Roy menyoroti penerapan PPKM di sejumlah provinsi yang diharapkan tidak lebih ketat dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah diharapkan dapat bijak dalam membatasi sektor ritel yang notabene merupakan bagian vital dan konsumsi rumah tangga.
Baca Juga
Terlebih, lanjutnya, dari total 2 juta pekerja di perusahaan ritel Tanah Air, sekitar 20 persen atau sekitar 400.000 orang di antaranya sudah divaksinasi. Untuk di DKI Jakarta, jumlah pekerja di sektor ritel yang sudah divaksinasi mencapai 90.000 orang atau sekitar 90 persen dari total pekerja.
Dengan demikian, sektor ritel diyakini dapat menjaga keamanan konsumen dalam menjalankan operasionalnya sehingga untuk dapat menjaga keinginan belanja masyarakat jam operasional di sektor tersebut pemerintah daerah diharapkan untuk tidak membatasi lebih dari yang ditetapkan pemerintah pusat.
"Sebab, peritel sangat bergantung kepada mobilitas belanja dan daya beli. Tanpa kedua hal itu, bisnis kami pasti tidak akan bisa ngangkat," ujarnya.
Sementara itu, kata Roy, upaya yang dilakukan melalui platform daring dikatakan tidak signifikan dibandingkan dengan metode belanja luring. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kontribusi belanja di marketplace ritel untuk keperluan pokok tidak sampai 20 persen dari keseluruhan pendapatan sektor.
Dia menambahkan peritel yang pasti terdampak dari kondisi dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah saat ini adalah yang bergerak di sektor non pangan dan pelaku usaha di pusat-pusat perbelanjaan.