Bisnis.com, JAKARTA - The National Maritime Institute (Namarin) menilai sudah saatnya revolusi di pelabuhan dilakukan tak lagi sebatas reformasi karena terbukti tak efektif dengan mencuatnya kembali isu pungutan liar (pungli) dan premanisme di Tanjung Priok.
Direktur Namarin Siswanto Rusdi mengatakan langkahnya bisa dimulai dari amendemen seluruh perundang-undangan yang memiliki muara dalam pelabuhan. Tujuannya untuk mengurangi pihak-pihak yang memiliki otoritas kuat di pelabuhan.
Setelah itu, sambungnya, barulah mendirikan sebuah lembaga yang terintegrasi, tunggal dan berkuasa penuh di pelabuhan. Kepada badan inilah seluruh aktivitas Customs Immigration, Quarantine (CIQ) didelegasikan.
Instansi QIC, sebutnya, tetap bisa masuk ke pelabuhan tetapi hanya untuk mengurusi kasus-kasus besar semisal penyelundupan dan wabah menular. Di samping itu, badan itu juga merupakan badan usaha yang dapat menjalankan roda bisnis kepelabuhanan.
"Banyak contoh di dunia ini di mana regulator dan operator berada dalam satu kamar yang sama. Port of Rotterdam misalnya. Dikaitkan dengan revolusi mental yang diusung oleh Presiden Joko Widodo, barangkali inilah revolusi yang harus diselesaikan. Pelabuhan kita harus direvolusi, bukan direformasi karena selama ini reformasi itu tidak efektif," ujarnya, Senin (14/6/2021).
Dia juga meminta pemerintah agar mengusut tuntas dan tak salah fokus karena saat ini pelaku premanisme dan pungli yang ditangkap oleh Polri saat ini pun hanyalah kelas teri.
Baca Juga
Berdasarkan penilaiannya, masalah pungli di Tanjung Priok yang juga terjadi di pelabuhan-pelabuhan utama lainnya di Indonesia berakar pada praktik bagi-bagi kekuasaan. Kawasan pelabuhan, sebutnya, adalah ladang bisnis yang mengiurkan dengan jumlah perputaran uang yang juga besar.
"’Harta’ sebagus ini sayang dilewatkan begitu saja; ia perlu ‘dibagi rata’ di antara sesama instansi. Bahkan, preman pun, mulai dari yang berdasi rapi hingga yang hanya bersendal jepit dan berbaju seadanya, dapat jatah atau bisa mengambil jatah dari bisnis kepelabuhanan nasional," tekannya.
Dampaknya, dari pembagian kekuasaan pada akhirnya menjadi pembagian keuntungan dan ini sudah berlangsung sejak lama, dari zaman kumpeni hingga republik berdiri. Memang, sebutnya, ada fungsi kepemerintahan di pelabuhan tetapi orientasinya sudah berbeda.
Di sisi lain, sebutnya ada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diposisikan hanya sebagai operator dan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Pada bagian yang lain terdapat regulator yang menjadi demangnya operator. Dualisme operator-regulator ini menjadi fakta bagaimana berjalannya power sharing dan profit sharing.