Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Solusi Gejolak Harga Kedelai, Pengamat: Masih Butuh Waktu

Sebagai negara yang bergantung pada komoditas impor seperti kedelai, permasalahan terkait fluktuasi harga di domestik merupakan sebuah konsekuensi logis yang dipastikan akan terus berulang.
Pekerja menyortir kedelai yang baru tiba di gudang penyimpanan di Kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (15/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Pekerja menyortir kedelai yang baru tiba di gudang penyimpanan di Kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (15/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Menanggapi potensi kenaikan harga produk kedelai akibat masih fluktuatifnya pasokan di pasar global, Pengamat Ketahanan Pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi menyebut, sebagai negara yang bergantung pada komoditas impor seperti kedelai, permasalahan terkait fluktuasi harga di domestik merupakan sebuah konsekuensi logis yang dipastikan akan terus berulang.

Pasalnya negara-negara penghasil kedelai pun tengah menghadapi ancaman keterbatasan pangan di tengah masa pandemi Covid-19 saat ini.

“Bagi negara-negara pengekspor kedelai, di saat pandemi yang belum jelas kapan akan usai ini, mereka tentu akan memilih untuk mengamankan permintaan dalam negeri dulu. Mereka menyimpan stok untuk memenuhi demand di dalam negeri,” ujar Prima, Rabu (7/4/2021).

Terkerek naiknya harga kedelai di dalam negeri memang tak bisa dilepaskan dari ketergantungan terhadap kedelai impor. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, kebutuhan impor kedelai sepanjang 2021 diperkirakan mencapai 2,6 juta ton. Volume ini hanya mencakup kedelai untuk kebutuhan konsumsi (produksi tahu dan tempe) dan di luar kebutuhan bungkil kedelai untuk industri pakan

Untuk bergerak ke arah swasembada, seperti halnya yang telah diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo, menurutnya, bisa saja diupayakan dengan dibarengi sinkronisasi data seputar supply dan demand plus diikuti kejelasan seputar masa depan komoditas kedelai. Hal ini penting untuk memikat petani agar bersedia menanam kedelai.

“Pemerintah bisa memetakan kebutuhan riil kedelai. Kedelai tidak dikonsumsi rumah tangga secara langsung, bisa diketahui secara presisi kebutuhan di dalam negeri lewat koperasi-koperasi pengrajin tahu dan tempe,” kata Prima.

Dengan memberikan kepastian pada dua faktor tadi, berikutnya bisa dimulai untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang dimiliki setiap pemerintah daerah, untuk dijadikan sentra komoditas kedelai. Prima mengatakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah lembaga riset yang mampu menciptakan varietas-varietas kedelai yang layak ditanami sesuai dengan kondisi geografis setiap daerah. “Di IPB pun sudah ada sejumlah varietas unggul yang siap dibudidayakan,” ujarnya.

Namun, Prima menggarisbawahi pentingnya upaya mendekatkan jarak antara sentra komoditas kedelai dan pusat industri pengrajin tahu, tempe ataupun kecap sebagai pasar utama. Di sini dibutuhkan akurasi data pasar dan demand produk kedelai.

Dengan kedekatan antara sentra komoditas kedelai dan para pengrajinnya, tentunya akan didapatkan tingkat cost yang lebih rendah di sisi distribusi. Keamanan pasokan pun bisa terjamin karena para petani kedelai tahu secara pasti berapa volume kedelai yang dibutuhkan oleh para pengrajin di daerah mereka masing-masing. “Logika ekonomi yang sederhana, satu daerah bisa mencukupi kebutuhan mereka sendiri akan meningkatkan efisiensi produk.”

Namun demikian, Prima menyebut upaya ini bukan hal yang bisa dilakukan seperti membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu untuk menciptakan skema budi daya kedelai yang kondusif bagi petani dan konsumen. Sebelum hal itu tercapai, maka pemenuhan kebutuhan pasar domestik dengan cara impor masih menjadi sebuah keniscayaan.

Soal rendahnya minat petani menanam kedelai, Ketum Gakoptindo Aip Syarifuddin menjelaskan disebabkan oleh faktor rendahnya yield yang didapat petani jika mereka membudidayakan kedelai. Tingginya harga kedelai sejatinya memang diakibatkan oleh keterbatasan pasokan yang berasal dari dalam negeri, serta tingginya kebutuhan di sejumlah negara importir besar seperti Tiongkok.

Aip menyebut lahan dengan tanaman kedelai seluas 1 hektare di Indonesia hanya mampu menghasilkan 1,5 ton – 2,5 ton kedelai, atau rata-rata 2 ton per hektare. Sementara harga jual selama ini masih tertekan di kisaran Rp8.000 per kg akibat standardisasi produk kedelai lokal yang belum terpenuhi oleh petani. “Kita mau beli, tapi harus bersih seperti kedelai impor. Jangan ada daun, batang, tanah, dan sebagainya,” kata Aip.

Tingkat income yang didapat petani kedelai untuk 1 hektare lahan pun masih jauh lebih rendah jika mereka membudidayakan komoditas di luar kedelai, seperti padi dan jagung. Jika hasil produksi rata-rata 2 ton dengan harga Rp8.500 per kilogramnya, maka para petani kedelai hanya menikmati income Rp17 juta untuk periode 100 hari tanam.

Sementara jika mereka menanam padi, bisa dihasilkan beras sekira 5 ton-6 ton, dengan income sebesar Rp50 juta-Rp60 juta. “Jadi ini memang harus diawali oleh program pemerintah. Kementerian Pertanian bisa mencari lahan, dan ditanami kedelai, sehingga nantinya bisa diciptakan soy estate. Berikutnya, besaran impor bisa ditekan secara perlahan,” kata Aip.

Di akhir 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kenaikan harga kedelai impor telah memberikan kontribusi pada inflasi produk tahu dan tempe. Masing-masing mengalami inflasi sebesar 0,06% dan 0,05% secara bulanan (month to month/mtm).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper