Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebut kinerja ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) berpotensi menurun imbas kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang tetap mengenakan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia.
Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengatakan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia ke AS terus meningkat selama lima tahun terakhir.
Adapun, volume ekspor tertinggi terjadi pada 2023, yakni mampu mencapai 2,5 juta ton. Sayangnya, volumenya turun menjadi 2,2 juta ton pada 2024 dengan pangsa pasar CPO adalah 89%.
“Apabila tarif [AS terhadap Indonesia] tetap 32%, ada kemungkinan ekspor [CPO] akan menurun, besarnya berapa belum tahu,” kata Eddy kepada Bisnis, Selasa (8/7/2025).
Menurut Eddy, importir di Negara Paman Sam akan mengalihkan pasar ke negara dengan tarif lebih rendah, seperti Malaysia, imbas adanya tarif tinggi ini.
Sebagai pembanding, Trump mengumumkan pengenaan tarif 25% untuk Malaysia. Besaran tarifnya lebih rendah dibandingkan Indonesia sebesar 32%.
Baca Juga
“Yang paling mungkin importir di AS akan bergeser ke negara lain seperti Malaysia dan negara-negara di Amerika Latin, karena tarif mereka di bawah Indonesia,” ujarnya.
Meski begitu, Eddy menyebut tren ekspor CPO Indonesia belum tentu akan terus menurun ke depan. Kondisi ini tergantung pada kondisi minyak nabati lain, seperti minyak kedelai hingga minyak bunga matahari.
“Belum tentu trennya turun terus, tergantung minyak nabati lain. Apabila supply mereka kurang, maka permintaan minyak sawit akan meningkat,” terangnya.
Menurutnya, harga minyak sawit harus kompetitif dibandingkan minyak nabati lain. Sebab, harga yang kompetitif akan mempengaruhi kinerja ekspor CPO ke depan.
“Jangan sampai harga minyak sawit lebih mahal dari minyak nabati lain seperti bunga matahari dan minyak kedelai seperti di tahun 2024 dan di awal 2025 [sampai April], ini juga akan menurunkan ekspor minyak sawit,” jelasnya.
Adapun untuk menghadapi tarif Trump, Eddy menyebut diversifikasi ke pasar nontraditional harus terus dilakukan, seperti ke Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Asia Tengah.
“Juga harus terus menjaga pasar traditional agar jangan turun seperti China, India, Pakistan dan Uni Eropa yang saat ini sebagai empat besar pasar minyak sawit Indonesia,” tuturnya.
Untuk diketahui, Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mengenakan tarif resiprokal 32% terhadap Indonesia, alias tidak mengalami perubahan.
Keputusan tersebut tertuang dalam surat tarif yang ditujukan Trump kepada Presiden Prabowo Subianto yang yang diunggah di akun Truth Social @realDonaldTrump pada Selasa (8/7/2025).
Kepala Negara AS itu juga mengunggah surat terbuka penetapan tarif ke berbagai negara. Dalam surat tersebut, Trump menyebut pihak AS telah memutuskan untuk melanjutkan kerja sama dengan Indonesia, namun hanya dalam kerangka perdagangan yang lebih seimbang dan adil.
“Mulai Agustus 2025, AS akan memberlakukan tarif sebesar 32% terhadap seluruh produk Indonesia yang masuk ke pasar AS, terpisah dari tarif sektoral lainnya. Produk yang dialihkan (transshipped) untuk menghindari tarif yang lebih tinggi akan tetap dikenakan tarif sesuai dengan kategori tertingginya,” demikian kutipan surat tersebut.
Dia menjelaskan, tarif ini diperlukan untuk memperbaiki kondisi defisit perdagangan yang tidak berkelanjutan, yang selama ini disebabkan oleh kebijakan tarif, nontarif, serta hambatan perdagangan dari pihak Indonesia.
“Sayangnya, hubungan dagang ini sejauh ini belum bersifat timbal balik,” terangnya.
Menurutnya, pengenaan tarif 32% itu sebenarnya jauh lebih rendah dari tarif yang diperlukan untuk menutup kesenjangan defisit perdagangan AS dengan Indonesia.
Dia menambahkan, tarif ini tidak akan berlaku jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan dari Indonesia, memutuskan untuk membangun fasilitas produksi di AS.
Bukan hanya itu, Trump juga menyebut AS bakal membantu mempercepat proses perizinan secara profesional dan efisien dalam hitungan minggu.
Selain itu, AS dapat mempertimbangkan penyesuaian tarif jika Indonesia bersedia membuka akses pasar dan menghapus kebijakan tarif maupun nontarif terhadap AS. Dia menyebut, besaran tarif dapat dinaikkan atau diturunkan, tergantung pada perkembangan hubungan bilateral Indonesia—AS.
Bahkan, Trump juga mengancam Indonesia untuk menambah tarif tersebut jika Indonesia melakukan retaliasi dagang. “Apabila Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif atas produk Amerika Serikat, maka besaran kenaikan tersebut akan langsung ditambahkan pada tarif 32% yang telah kami tetapkan,” tandasnya.