Bisnis.com, JAKARTA - Industri sawit memasuki babak baru. Ini terjadi tatkala Indonesia dan Uni Eropa tengah memasuki etape akhir Kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA). Penuntasan seluruh dokumen ditargetkan usai pada September 2025.
Kesepakatan ini digadang-gadang akan membuka akses perdagangan bebas dengan tarif bea masuk 0% untuk salah satu komoditas utama Indonesia: minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunan berupa minyak inti sawit (PKO). Tarif 0% untuk CPO berlaku dengan batas ekspor maksimal 1 juta ton/tahun. Untuk ekspor PKO belum ada perincian.
Ini merupakan angin segar bagi industri sawit Indonesia dan relasinya dengan Uni Eropa (UE). Diakui atau tidak, selama ini Indonesia dan UE telah terlibat perang dagang minyak nabati yang cukup panjang. Selama ini, UE ditengarai membiayai sejumlah LSM internasional dan lokal untuk berkampanye negatif terhadap sawit (PASPI, 2023). Tidak cukup itu. UE juga menerapkan aneka hambatan nontarif terhadap minyak sawit dan produk turunan asal Indonesia, dari Renewable Energy Directives II Indirect Land Use Change (RED-II ILUC) hingga European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Dampak dari kebijakan itu, volume ekspor CPO (dan produk turunan) Indonesia ke UE turun dari sekitar 5 juta ton pada 2020 menjadi 3,4 juta ton pada 2024. Berpijak dari kondisi itu, salah satu tuntutan Indonesia dalam 19 rangkaian perundingan IEU-CEPA sejak 2016 adalah menuntut UE menghapus kebijakan nontarif ini. Mengapa? Meskipun UE bukan pasar utama sawit Indonesia, kawasan dengan 27 negara dan 450 juta jiwa itu adalah wilayah ‘paling berisik’ ihwal sawit. Apa yang terjadi di UE potensial menular.
Bila free trade antara Indonesia dan UE diimplementasikan salah satu sektor yang diuntungkan adalah minyak nabati, khususnya industri minyak sawit. Ada peluang ekspor minyak sawit dan produk turunan Indonesia ke pasar UE naik. Hasil simulasi free trade Indonesia dengan UE berdampak pada peningkatan PDB riil Indonesia dan UE (Damuri et al., 2021; Friawan, 2023). Selain itu, ekspor Indonesia ke UE diperkirakan meningkat sekitar 57,7% dan ekspor UE ke Indonesia meningkat sekitar 76%. Sebaliknya, jika UE tetap menerapkan beleid non-tariff barrier, harapan ekspor sawit ke UE naik akan pupus. Karena itu, penting bagi Indonesia memastikan hambatan nontarif UE ini tak diterapkan.
Kendati demikian, peluang peningkatan ekspor sawit dan produk turunan ke UE belum memperhitungkan tarif Trump. Amerika Serikat (AS) adalah salah satu pasar sawit yang sedang bertumbuh. Volume impor CPO dan produk turunan oleh AS meningkat dari 3,5 juta ton pada 2020 menjadi 4,5 juta ton pada 2024. Khusus dari Indonesia, volume impor sawit AS mencapai 2,3 juta ton pada 2024. Sisanya dipasok Malaysia dan re-ekspor dari negara non-produsen minyak sawit: Kanada, Jerman, Spanyol, dan Italia.
Baca Juga
Trump memberlakukan tarif resiprokal seluruh barang impor AS dari Indonesia, termasuk sawit (dan produk turunan), sebesar 19%. Tarif tersebut akan menurunkan daya saing relatif minyak sawit Indonesia. Baik terhadap kondisi tahun sebelumnya, juga penurunan daya saing terhadap eksportir minyak sawit dari kawasan Afrika, khususnya Nigeria, Ghana, dan penurunan daya saing terhadap minyak nabati lain baik yang diproduksi AS maupun negara lain yang tarif resiprokalnya lebih rendah dari Indonesia.
AS adalah eksportir minyak kedelai, minyak kacang tanah, dan minyak nabati lain. Dengan tarif resiprokal 19% kepada Indonesia dan tarif resiprokal 25% kepada Malaysia, pangsa minyak sawit di AS berpotensi menurun dan berpotensi direbut minyak nabati produksi domestik AS. Ini sangat mungkin terjadi mengingat selisih harga minyak sawit dengan minyak kedelai dalam beberapa tahun terakhir makin kecil: hanya 10%—20%. Secara khusus, daya saing relatif sawit Indonesia terhadap Malaysia di pasar AS akan meningkat. Ini karena tarif resiprokal yang dikenakan Trump ke Malaysia sebesar 25%. Secara teoritis pangsa minyak sawit Malaysia di AS berpeluang direbut Indonesia.
Tarif resiprokal yang dikenakan Trump ke UE sebesar 20%, hanya 1% di atas tarif resiprokal ke Indonesia. Jika ini tak berubah, beberapa negara anggota UE yang selama ini mereekspor produk sawit ke AS, seperti Italia, Jerman, Spanyol, diperkirakan akan berlanjut ke depan. Bahkan dengan adanya free trade antara Indonesia-UE, negara-negara itu berpeluang meningkatkan volume reekspor produk sawit ke AS (Sipayung, 2025). Pendek kata naiknya ekspor sawit Indonesia ke UE akibat free trade amat mungkin dioptimalkan negara-negara UE untuk mereekspor ke pasar AS dan negara lain.
Dalam konfigurasi seperti di atas, kesepakatan free trade Indonesia-UE memang membuka peluang pasar sawit Indonesia lebih lebar. Akan tetapi, peluang tersebut amat mungkin menjadi sempit apabila Indonesia tidak mampu mengoptimalkan kondisi yang ada. Apalagi negara-negara kompetitor, baik yang memiliki produk sawit sendiri maupun yang tidak, pasti tak tinggal diam. Oleh karena itu, langkah diversifikasi pasar ekspor, kebijakan substitusi impor di dalam negeri seperti kenaikan mandatori biodiesel, dan peningkatan produktivitas dan efisiensi biaya harus tetap menjadi strategi penting bagi industri sawit nasional untuk memitigasi pelbagai perkembangan pasar yang tak pasti.