Bisnis.com, JAKARTA - Pengurangan secara bertahap pembelian obligasi oleh Federal Reserve Amerika Serikat pernah menimbulkan gejolak di pasar negara berkembang pada 2013.
Saat itu, pengumuman Gubernur Fed Ben Bernanke bahwa para pejabat sedang mempertimbangkan untuk berhenti membeli aset, seketika memicu gejolak pasar keuangan yang hebat, atau disebut dengan taper tantrum.
Kini di tengah wacana tapering oleh Fed seiring proyeksi ekonomi AS yang membaik pada paruh kedua 2021, kekhawatiran itu kembali muncul.
Direktur Eksekutif Institue for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berpendapat bahwa efek tersebut tidak akan terulang, sebab pembuat kebijakan akan belajar dari kesalahan pada masa lalu.
Selain itu, kini situasinya juga berbeda. Pemulihan domestik dan penanganan pandemi di masing-masing negara berkembang juga akan menjadi pertimbangan investor, selain kebijakan Fed.
"Saya rasa efek seperti dulu itu tidak akan terulang. Para pelaku ekonomi tetap melihat domestiknya dulu. Domestik seberapa kuat pulihnya, sehingga tidak rata pemulihannya," katanya kepada Bisnis, Selasa (12/1/2021).
Baca Juga
Negara yang memiliki struktur kelembagaan yang matang sehingga mampu melakukan vaksinasi dengan cepat, akan mampu meredam dampak buruk pada tekanan nilai tukarnya.
Selain itu, Eko juga memandang bahwa pernyataan optimisme dari sejumlah pimpinan bank sentral federal di AS adalah upaya untuk menggairahkan pasar keuangan. Sebab sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari Gubernur Fed Jerome Powell bahwa kebijakan itu akan diterapkan dalam waktu tertentu.
"Secara teori keuangan, itu untuk mengairahkan sektor keuangan, ada ekspektasi yang sedang diolah. Berita itu akan menggairahkan pasar modal dan pasar keuangan Amerika," ujarnya.