Bisnis.com, JAKARTA - Defisit APBN sampai dengan akhir Oktober 2020 telah mencapai Rp764,9 triliun atau 4,67 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Angka defisit tersebut mulai mendekati batas defisit yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2020 sebesar 6,34 persen.
Terlepas dari kondisi darurat akibat pandemi Covid-19, angka defisit yang per Oktober hampir mencapai 5 persen ini memiliki efek psikis bagi pasar maupun pengelola fiskal.
Apalagi jika batas defisit APBN 2020 tembus angka 6,34 persen, selain mempersempit ruang fiskal bagi pemerintah, angka tersebut juga akan dicatat dalam sejarah sebagai defisit tertinggi sejak krisis 1998. Tahun 1998 hanya di kisaran 4 persen hingga 5 persen.
Sebagai catatan krisis 1999 dan lahirnya Undang-Undang Keuangan Negara pada awal dekade 2000an lalu, ibarat diet, pemerintah muali menerapkan disiplin fiskal yang cukup ketat. Defisit ditetapkan tak lebih dari 3 persen dari PDB. Sementara rasio utang dibatasi 60 persen dari PDB.
Hal ini dibuktikan selama lima tahun terakhir, defisit APBN tidak pernah mendekati angka 3 persen. Tahun 2015 misalnya realisasi defisit di angka 2,25 persen, tahun 2016 2,59 persen, kemudian 2,49 persen pada 2017.
Baca Juga
Menariknya pada 2018 angka defisit sempat membaik dengan realisasi 1,76 persen akibat berkah komoditas. Namun kembali melambung ke angka 2,2 persen pada 2019 seiring anjloknya harga komoditas.
Tahun 2020, pemerintah memulai tahun dengan cukup optimistis. Target defisit diangan-angankan bisa seperti tahun 2018 berada di bawah 2 persen atau tepatnya 1,76 persen. Namun, baru berjalan tiga bulan, APBN 2020 tiba-tiba mendapat cobaan yang maha dasyat akibat pandemi Covid-19.
"[Pandemi] ini belum pernah terjadi sebelumnya," begitu kalimat yang selalu diulang-ulang oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam berbagai kesempatan.
Tetapi apapun alasan yang diungkapkan pemerintah, pandemi seolah menbuka kotak pandora. Pandemi telah mengungkap betapa rapuhnya struktur fiskal pemerintah. Defisit melebar, penerimaan yang memang sudah terpukuk semakin buruk. Utang lagi-lagi menjadi kunci.
Sebagai konsekuensinya pelebaran ruang fiskal menjadi jalan terakhir. Defisit yang semula ditargetkan 1,76 persen dari PDB menjadi 5,07 persen. Ironisnya karena tebakan outlook penerimaan yang tidak presisi, defisit akhirnya dipatok sebesar 6,34 persen.
Kendati demikian, angka tersebut juga berpotensi meleset, jika semua belanja terserap dan realisasi penerimaan pajak lebih rendah dari outlook APBN 2020. Kredibilitas pengelola fiskal pun di pertaruhkan.
Sekadar catatan, pada Juni lalu, Menkeu Sri Mulyani mengakui bahwa jika penetapan defisit di angka 6,34 persen bakal membenani pengelolaan fiskal sampai dengan 10 tahun depan. Pernyataan itu diungkapkan jika APBN 2020 berjalan sesuai ekspektasi. Lantas, kalau di luar ekspektasi bagaimana?
Konsolidasi
Upaya konsolidasi menjadi judul kebijakan fiskal tahun 2021. Konsolidasi fiskal tersebut juga sejalan dengan penurunan defisit APBN yang ditargetkan kembali di bawah 3 persen pada 2023. Namun, upaya konsolidasi fiskal itu terancam buyar dengan semakin memburuknya kinerja penerimaan pajak tahun 2020.
Selain dipastikan meleset dari outlook, proyeksi paling optimistis realisasi penerimaan pajak tahun 2020 hanya berada di kisaran minus 13 persen dan yang paling pesimis di angka minus 19 persen. Jika hal itu terjadi itu akan semakin membebani pengelolaan APBN tahun 2021.
Sebagai ilustrasi target penerimaan pajak yang dipatok sebesar Rp1.229,6 triliun pada 2021. Target itu tumbuh 2,5 persen dari outlook APBN 2020 senilai Rp1.198,8 triliun. Selain lebih rendah dibandingkan tahun 2019, target tersebut juga di bawah pertumbuhan alamiahnya yang seharusnya di kisaran 8 persen.
Penetapan target pertumbuhan yang relatif konservatif itu mencerminkan ketidakpastian masih menyelimuti tahun 2021. Artinya dengan imbas pandemi yang berlanjut serta kebutuhan pemerintah untuk menstimulasi dunia usaha, sulit bagi penerimaan pajak untuk bergerak sesuai dengan ekspektasi.
Situasi itu bisa semakin pelik jika kinerja penerimaan pajak tahun 2020 amblas. Sekadar catatan, pertumbuhan penerimaan pajak sampai dengan Oktober 2020 terus terkontraksi 18,8 persen atau nyaris 19 persen.
Tren pertumbuhan penerimaan pajak yang terus memburuk berpotensi membebani pemerintah pada tahun depan. Pasalnya, jika penerimaan pajak shortfall alias meleset dari outlook, beban pengelolaan APBN tahun depan bisa di luar ekspektasi.
Sebagai catatan, realisasi penerimaan pajak tahun 2020 diproyeksikan sebesar Rp1.198,8 triliun atau minus 10 persen dari realisasi tahun 2019 yang senilai Rp1.332,06 triliun. Dengan tren pertumbuhan penerimaan pajak pada 2020 yang sampai Oktober 2020 yang nyaris terkontrasksi sebesar 19 persen, kemungkinan penerimaan pajak bakal meleset dari target.
Pengamat pajak DDTC Bawono Kristiaji menyebut dengan tren penerimaan saat ini proyeksi penerimaan pajak paling optimis berada di angka minus 13 persen dan paling pesimis di angka minus 19 persen. Itu artinya shortfall penerimaan pajak akan di lebih dalam dari perkiraan pemerintah.
"Proyeksi realisasi penerimaan pajak yang terkontraksi yang cukup dalam di 2020, adanya bayang-bayang ketidakpastian ekonomi 2021, serta pola pemulihan penerimaan pajak yang umumnya relatif lebih lambat, maka agenda konsolidasi fiskal dan normalisasi defisit akan lebih menantang," tukasnya.