Bisnis.com, JAKARTA - Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2021 masih harus mengalami tekanan yang besar akibat pandemi Covid-19 yang belum mereda.
Pendapatan negara pada 2021 diperkirakan masih jauh dari angka normal. Jika dibandingkan sebelum pandemi Covid-19, pendapatan negara pada 2021 yang sebesar Rp1.473,6 triliun, turun -21,9 persen, meski membaik jika dibandingkan dengan Perpres 72/2020.
Di sisi lain, belanja pemerintah sebesar Rp2.750 triliun, naik 8,3 persen dibandingkan sebelum pandemi, dan naik 0,39 persen dibandingan Perpres 72/2020.
Oleh karena itu, defisit anggaran pada 2021 ditetapkan sebesar 5,7 persen dari PDB. Kenaikan ini sangat tinggi jika dibandingkan sebelum pandemi, yaitu sebesar 227,6 persen, meskipun lebih rendah dibandingkan Pepres 72/2020 yang sebesar -3,61 persen.
"Kami lihat kondisi APBN 2021 masih sakit dan butuh penyembuhan, dan memang terjadi karena Covid-19," kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Senin (23/11/2020).
Menurut Tahid, defisit yang kembali membengkak pada 2021 harus dilihat kembali apakah efektif atau tidak dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga
"Jika kita lihat pertumbuhan ekonomi di 2021 sebesar 3 persen, maka tidak worthy terhadap upaya alokasi defisit yang sedemikian besar, mencapai Rp1.006,4 triliun, ini yang perlu jadi catatan bagaimana mengefektifkan tambahan utang terhadap pertumbuhan ekonomi 2021," jelasnya.
Di sisi lain, menurut Tauhid, desifit APBN pada tahun depan masih dibayangi sejumlah risiko, termasuk risiko terkait pembiayaan dan risiko skema burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tidak dilanjutkan.
Padahal peran dari skema burden sharing BI dan pemerintah dalam memenuhi pembiayaan untuk pemulihan ekonomi masih sangat dibutuhkan.
"Termasuk kalau BI tidak mau lagi burden sharing di 2021 karena defisitnya sudah besar sekali, sekitar Rp21 triliun di 2021 mendatang," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Senior Indef Fadhil Hasan mengatakan peranan pemerintah dari sisi fiskal masih sangat dibutuhkan dalam pemulihan ekonomi tahun depan karena investasi dan ekspor diperkirakan belum pulih secara signifikan.
Oleh karenanya, ekspansi dari APBN menurut Fadhil masih sangat membutuhkan bantuan bank sentral untuk memenuhi pembiyaan dengan skema burden sharing.
"Kita tahu penerimaan pajak masih rendah, rasionya bahkan sebelum Covid-19 sudah mengalami penurunan. Kemudian, beban hutang kita sudah semakin meningkat dan akan berisiko jika mengandalkan SUN sebagai instrumen pembiayaan APBN dalam skala besar," katanya.
Di samping itu, Fadhil mengatakan, pembiayaan melalui surat utang negara juga berisiko karena imbal hasil yang masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara lain, sehingga dia menilai skema burden sharing akan berperan sangat besar.
"Persoalannya apakah Bank Sentral masih mau burden sharing? Karena burden sharing bukan tanpa konsekuensi, konsekuensinya terhadap defisit atau surplus bank sentral sendiri. Jadi serba sulit melakukan skema burden sharing kalau dilakukan tanpa ada kehati-hatian," tuturnya.