Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Proyek Smelter Halmahera Lygend Rp14,8 Triliun Segera Beroperasi

Pembangunan proyek semelter HPAL milik PT Halmahera Persada Lygend ini masih menghadapi sejumlah tantangan.
Denis Riantiza Meilanova
Denis Riantiza Meilanova - Bisnis.com 15 Oktober 2020  |  13:05 WIB
Proyek Smelter Halmahera Lygend Rp14,8 Triliun Segera Beroperasi
Pabrik bahan baku baterai mobil listrik yang dibangun oleh Harita Nickel di Kawasi, Obi, Halmahera Selatan sudah memasuki tahap konstruksi akhir. Istimewa - Harita Nickel

Bisnis.com, JAKARTA — Fasilitas smelter nikel dengan teknologi hidrometalurgi high pressure acid leach milik PT Halmahera Persada Lygend ditargetkan commissioning pada Desember 2020.

Direktur Halmahera Persada Lygend Tonny Hasudungan Gultom mengatakan bahwa smelter tersebut nantinya akan memproduksi mixed hydroxide precipitate (MHP) sebanyak 365.000 ton dan turunannya nikel sulfat sebanyak 246.750 ton, serta 31.800 ton kobalt sulfat. Kapasitas inputnya mencapai 8,3 juta ton bijih nikel.

"Saat ini kami memang sedang konstruksi. Kalau lancar, mudah-mudahan commissioning kami lakukan pada akhir tahun," ujar Tonny dalam webinar, baru-baru ini.

Konstruksi proyek ini telah dimulai sejak September 2018 dan nilai investasinya mencapai US$1,06 miliar atau setara Rp14,8 triliun. Proyek ini dimiliki oleh Harita Group dengan kepemilikan 63,1 persen dan Ningbo Lygend Mining 36,9 persen.

Fasilitas pabrik yang terletak di Pulau Obi, Maluku Utara, tersebut terdiri atas unit high pressure acid leach (HPAL) dan fasilitas penunjang, antara lain unit pembuat asam sulfat, unit penyedia kapur dan lime milk, pembangkit listrik, unit penyedia air, fasilitas penanganan limbah slurry HPAL, dan pelabuhan.

Menurut Tonny, pembangunan proyek HPAL ini masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya, terkait dengan dukungan pemerintah dalam penempatan limbah slurry HPAL yang belum jelas. Hal ini memengaruhi operasional HPAL.

Perusahaannya harus mengelola sisa pengolahan slurry HPAL hingga 66,3 juta ton per tahun. Beberapa opsi penempatan limbah slurry telah dipertimbangkan antara lain dry stack atau backfilling bekas tambang, kolam, dan DAM limbah slurry HPAL, dan penempatan limbah di dasar laut.

"Melihat perkembangan sampai saat ini di mana putusan pemerintah belum melihat arahnya ke mana, penempatan sebaiknya di mana. Bukan dilihat pada materinya, apakah beracun, berbahaya, atau tidak. Oleh karena itu, kuncinya di materialnya itu sendiri. Kalau materi sudah lulus pengujian, tentunya bisa ditempatkan di mana saja sepanjang itu aman dan dampaknya paling minimal," kata Tonny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

smelter
Editor : Zufrizal

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top