Bisnis.com, JAKARTA — Perkembangan produksi smelter nikel Indonesia terbilang cukup signifikan, terutama setelah adanya percepatan larangan ekspor bijih nikel.
Hanya saja, kata Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, seluruh produknya masih berupa produk antara (intermidiate) dan didominasi oleh produk kelas dua, yakni nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi).
"Produksi kita paling besar yang kelas dua ini. Ini yang kira-kira mengeruk terus saprolite, nikel kadar tinggi, sedangkan yang kelas satu yang memproduksi Ni Matte dan MHP yang menggunakan limonite, produksinya masih kurang," kata Irwandy dalam webinar, Selasa (13/10/2020).
Total cadangan bijih nikel kadar tinggi (saprolite) Indonesia hanya sekitar 930 juta ton, jauh lebih rendah dibandingkan dengan cadangan dari bijih nikel kadar rendah (limonite) yang mencapai 3,6 miliar ton.
Oleh karena itu, saat ini Indonesia tengah mengembangkan teknologi hidrometalurgi (high pressure acid leach/HPAL) untuk pengolahan bijih nikel kadar rendah. Namun, proyek smelter HPAL ini merupakan proyek sensitif karena selain membutuhkan belanja modal yang besar, prosesnya juga rumit dan memerlukan pengalaman yang cukup untuk membangun dan menjalankan proyek tersebut.
Irwandy menuturkan bahwa di dunia saat ini baru ada dua smelter HPAL yang sukses, yakni di Coral Bay, Filipina dan Moa Bay di Kuba.
Baca Juga
"Penguasaan processing technology terutama RKEF, HPAL, Ni/Co SO4 refinery, battery precursors, chatode, anode, battery pack, oleh BUMN atau perusahaan nasional sangat penting agar secara jangka panjang BUMN atau perusahaan nasional bisa lebih menguasai industri nikel dari hulu ke hilir untuk kemandirian Indonesia," katanya.