Bisnis.com, JAKARTA – Tata niaga ayam di Tanah Air diperkirakan bakal semakin bermasalah jika keran impor dibuka. Pemerintah diharapkan tetap membentengi pemasukan hewan ternak maupun produk peternakan dengan bijak.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (Arphuin) P. Nono mengemukakan tata niaga unggas di dalam negeri cenderung rentan terhadap dinamika pasar. Hal ini turut dipengaruhi oleh usia bisnis ayam potong yang biasanya bergulir cepat dalam kurun 30-40 hari.
“Jika impor masuk, tata niaga akan rusak. Terutama di perunggasan karena live cycle bisnisnya sangat pendek, pasokan dan permintaannya sangat rentan,” kata Nono kepada Bisnis, Selasa (13/10/2020).
Dia memberi contoh pada kerapnya harga ayam potong siap potong (live bird) jatuh di bawah biaya pokok produksi dan harga acuan. Indonesia masih dihadapkan pada produksi yang melimpah dengan serapan pasar yang terbatas.
Di sisi lain, pemasukan daging ayam dari luar negeri pun cenderung diatur dengan ketat.
Pengaturan ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 yang memperbarui UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Baca Juga
Pasal 36B menyebutkan bahwa pemasukan ternak dan produk ternak dari luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri belum memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ketentuan dalam pasal 36B ini pun diimplementasikan dalam sejumlah peraturan menteri, di antaranya Permentan Nomor 34 Tahun 2016 tentang pemasukan karkas, daging, jeroan, dan atau olahannya ke wilayah Indonesia yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 23 Tahun 2018.
Perubahan beleid itu dilakukan usai Brasil mengajukan komplain resmi ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2014 karena Indonesia dinilai membatasi secara tak langsung masuknya daging ayam dari Negeri Samba.
Dalam beleid UU Cipta Kerja, pasal 36B turut mengalami perubahan. Frase dalam ayat (1) tak lagi menyebutkan bahwa importasi dilakukan apabila produksi dalam negeri tak mencukupi. Alih-alih demikian, importasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kala ditanyai tanggapan dampak perubahan ini terhadap pasokan daging ayam di Tanah Air, Nono mengaku belum bisa banyak berkomentar. Tetapi, jika terkait dengan ketentuan perdagangan bebas WTO, dia menilai Indonesia tak memiliki pilihan lain selain mengikuti keputusan yang ada.
“Namun yang perlu menjadi catatan, kebijakan ini harus bijak. Kita sama-sama tahu unggas ini 80 persen di pasar becek jadi pasokan permintaannya rentan. Hanya 20 persen yang dijual di rantai dingin,” ujar Nono.
Nono menyarankan agar pemerintah bisa menyusun regulasi yang tetap mengakomodasi perkembangan usaha peternakan di dalam negeri mengingat sebagian besar melibatkan masyarakat pedesaan dengan tingkat pendidikan yang tidak tinggi.
Selain itu, dia mengatakan sektor peternakan di dalam negeri pun telah menyerap tenaga kerja yang besar dari hulu sampai hilir dari hadirnya pabrik pakan dan pengolahan produk peternakan.
Sementara itu, Ketua Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J. Supit mengatakan belum bisa memberi respons atas perubahan ketentuan ini.
Dia mengatakan pelaku usaha masih mempelajari perubahan pasal terkait dan dampaknya terhadap bisnis peternakan di dalam negeri.
Negara eksportir daging halal terbesar di dunia itu menuding Indonesia telah menutup akses pasar sejak 2009.
Terdapat total tujuh kebijakan Indonesia yang dinilai Brasil bertentangan dengan prinsip anti proteksi WTO yang tercantum dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT).
Adapun aturan main yang dianggap menghambat impor Brasil antara lain daftar positif, persyaratan penggunaan, diskriminasi dalam persyaratan label halal, pembatasan transportasi impor, dan penundaan persetujuan persyaratan sanitasi.
Berdasarkan laporan panel yang diadopsi oleh Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) pada 22 November 2017, disebutkan bahwa Indonesia terbukti melanggar empat dugaan yang disampaikan Brasil.
Keempat dugaan itu terkait aturan mengenai kesehatan, pelaporan realiasasi mingguan importir, larangan perubahan jumlah produk, serta penundaan penerbitan sertifikat kesehatan.
Sementara untuk tiga dugaan lain yang mencakup diskriminasi persyaratan pelabelan halal, persyaratan pengangkutan langsung, pelarangan umum terhadap impor daging ayam dan produk ayam, Brasil tidak bisa membuktikan bahwa Indonesia melanggar ketentuan tersebut.
Meski peraturan pelaksana telah mengakomodasi tuntunan Brasil, UU Peternakan dan Kesehatan Hewan nyatanya tak luput dari revisi.